TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Niaga Kota Semarang menetapkan PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex pailit. Keputusan ini disahkan usai mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sesuai kesepakatan sebelumnya. Keputusan ini telah dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang, Haruno Patriadi, pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Haruno menjelaskan, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua, Muhammad Anshar Majid, tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
“Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022,” kata Haruno, pada 23 Oktober 2024, seperti dikutip Antara.
Saat pembacaan putusan pengadilan tersebut, Haruno menunjuk kurator dan hakim pengawas.
“Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur,” jelasnya.
Profil PT Sritex
Sritex adalah perusahaan tekstil yang didirikan pada 1966 oleh HM Lukminto, pria kelahiran Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Lukminto membangun Sritex berawal sebagai pedagang tekstil eceran dari usaha dagang “Sri Redjeki” di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Lalu, pada 1968, usaha kecil ini mengalami pertumbuhan pesat dan mulai memproduksi kain kelantang dan celup di pabrik pertamanya di Solo.
Lalu, pada 1978, Sritex terdaftar dalam Kementerian Perdagangan sebagai perseroan terbatas. Setelah itu, pada 1982, Sritex mendirikan pabrik pemintalan pertamai di Sukoharjo, Jawa Tengah yang beroperasi di lahan seluas 150 hektare dengan karyawan mencapai total 25.000 orang. Sekitar 70 persen produksi Sritex diekspor dan 30 persen lainnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada 1994, Sritex menjadi produsen seragam militer untuk Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Tentara Jerman. Sritex memiliki lebih dari 300 ribu desain kain, termasuk enam desain pakaian militer yang telah dipatenkan di Dirjen HAKI. Selain itu, kapasitas produksi Sritex juga mencakup perlengkapan militer untuk berbagai negara di seluruh dunia. Bahkan, jangkauan pasar Sritex bahkan telah mencapai lebih dari 100 negara di dunia, seperti Jerman, Inggris, Malaysia, Australia, Timor Leste, Uni Emirat Arab, Brunei Darussalam, Amerika Serikat, Turki, dan anggota NATO.
Pada 1998, Sritex berhasil melalui krisis moneter. Lalu, pada 2001, perusahaan tekstil ini berhasil melipatgandakan pertumbuhannya sampai 8 kali lipat dibanding waktu pertama kali terintegrasi pada 1992. Kemudian, pada 2013, Sritex secara resmi terdaftar sahamnya (kode ticker dan SRIL) di Bursa Efek Indonesia. Lalu, pada 2017, perusahaan ini berhasil menerbitkan obligasi global senilai US$ 150 juta yang jatuh tempo pada 2024.
Prestasi Sritex tidak hanya meliputi aspek bisnis. Sritex tercatat beberapa kali meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yaitu Pelopor dan Penyelenggara Penciptaan Investor Saham Terbesar Dalam Perusahaan (2015), Peserta Terbanyak Penyuluhan Narkoba (2016), dan Kerja Bakti di Lingkungan Perusahaan oleh Karyawan Terbanyak (2019).
Kendati demikian, saat ini, PT Sritex telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Pailit ini menyusul beberapa perusahaan tekstil lain yang lebih dahulu mengalaminya, yaitu PT S. Dupantex di Pekalongan, PT Alenatex, PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah, PT Kusumaputra Santosa, dan PT Sai Apparel.
RACHEL FARAHDIBA R | HENDRIK KHOIRUL MUHID | ANTARA
Pilihan Editor: Kisah Raja Batik HM Lukminto Pendiri Sritex dari Pasar Klewer Bikin Pabrik Tekstil