JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD menilai, kasus empat hakim yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan suap vonis onslag atau lepas perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) terhadap tiga korporasi, menjadi bukti bahwa sistem peradilan di tanah air sudah busuk.
Ketiga korporasi yang dimaksud adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
“Kalau melihat seluruh rangkaian kejadian dalam beberapa waktu terakhir ini, saya mohon maaf harus mengatakan, memang nampaknya dunia peradilan kita sudah sangat busuk,” ujar Mahfud, Kamis (16/4/2025).
Ia mengaku sudah kehabisan cara untuk membenahi sistem hukum di Indonesia yang menurutnya telah terkontaminasi korupsi dari hulu ke hilir. Padahal, sistem peradilan yang ada saat ini merupakan produk Reformasi yang dulu digadang-gadang bisa menjadi benteng penegakan hukum.
Menurut Mahfud, kasus dugaan suap dalam vonis lepas ekspor CPO menjadi contoh nyata bagaimana praktik korupsi dilakukan secara terang-terangan, sistematis, dan melibatkan banyak pihak di dalam institusi hukum itu sendiri.
“Dulu, korupsi dilakukan diam-diam dan per individu. Sekarang sudah menjadi permainan kolektif di dalam institusi. Ini mengerikan,” tegasnya.
Ia pun menyoroti akar persoalan yang menurutnya bukan hanya pada sistem, melainkan juga pada integritas individu hakim. Jika para hakim, khususnya para pimpinan, memiliki integritas, Mahfud meyakini praktik seperti ini tak akan terjadi.
“Kalau pimpinannya punya integritas, yang di bawah pasti akan ikut. Tapi sekarang, justru pimpinannya yang menjadi bagian dari permainan,” ujarnya.
Skandal Suap Hakim dan Vonis Lepas CPO
Skandal ini bermula dari penanganan perkara ekspor CPO yang menyeret tiga hakim, yakni Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtaro, dan Djuyamto. Ketiganya dijerat setelah memvonis lepas terdakwa dalam perkara korupsi fasilitas ekspor CPO.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa ketiga hakim tersebut bersekongkol dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta; dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri; serta panitera muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan.
Akar persoalan bermula ketika Ariyanto Bakri, pengacara terdakwa, menghubungi Wahyu agar membantu mengurus putusan onslag bagi kliennya. Wahyu kemudian meneruskan permintaan itu kepada Nuryanta yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Nuryanta menyanggupi permintaan tersebut dengan imbalan fantastis: Rp60 miliar. Uang itu dialokasikan sebagai “biaya” untuk tiga hakim yang akan memimpin perkara.
Nuryanta pun menunjuk Djuyamto sebagai ketua majelis hakim, dan Agam Syarif Baharudin serta Ali Muhtaro sebagai anggota. Setelah penunjukan, proses penyerahan uang suap pun dimulai.
Tahap pertama, Djuyamto dan Agam Syarif menerima uang senilai Rp4,5 miliar dalam bentuk dolar AS. Uang ini disebut sebagai “uang membaca berkas” agar perkara mendapat perhatian khusus.
Tak berhenti di situ, penyerahan uang tahap kedua sebesar Rp18 miliar juga dilakukan. Dari jumlah itu, Djuyamto menerima Rp6 miliar, Agam Syarif Rp4,5 miliar, dan Ali Muhtaro Rp5 miliar.
Setelah seluruh transaksi selesai, vonis onslag dijatuhkan pada 19 Maret 2025. Seluruh terdakwa kasus ekspor CPO dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Ketiga hakim tersebut kini dijerat dengan Pasal 12 huruf C, Pasal 12 huruf B, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.