Usulan Satu Orang Satu Akun Medsos Picu Kontroversi,  PAN: Sensor Baru di Era Digital

1 hour ago 4

Wakil Ketua Umum PAN, Eddy Soeparno | Instagram

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana pembatasan penggunaan media sosial melalui konsep “satu orang satu akun” kembali mencuat di Senayan. Sejumlah politisi menyebut kebijakan itu akan jadi cara ampuh menekan hoaks dan mematikan buzzer anonim. Namun, partai politik lain menilai langkah tersebut berpotensi menggerus kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.

Ide ini awalnya dilontarkan Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Bambang Haryadi. Ia mengklaim, kebijakan single account penting untuk membendung arus informasi liar, termasuk isu yang menyasar tokoh politik secara personal. Bambang bahkan mencontohkan praktik di Swiss, di mana setiap warga disebut hanya boleh memiliki satu nomor ponsel dan satu akun medsos. Meski begitu, ia tak merinci dasar hukum maupun mekanisme teknis pembatasan itu di Indonesia.

Tak hanya Gerindra, Anggota Komisi I DPR RI Oleh Soleh juga mendesak platform digital seperti Meta, TikTok, dan YouTube membatasi kepemilikan akun. Dalam rapat dengan ketiga raksasa digital tersebut pada Juli lalu, Oleh menyebut akun ganda sebagai “akar buzzer” yang merusak tatanan informasi publik. “Hanya satu akun asli saja. Tidak boleh satu orang memiliki akun ganda,” ujarnya tegas.

Namun wacana itu tak lepas dari kritik. Wakil Ketua Umum PAN sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, mengingatkan bahwa pembatasan medsos punya konsekuensi serius terhadap proses demokrasi. Menurutnya, prinsip demokrasi memberi ruang bagi masyarakat untuk berpendapat di berbagai kanal, termasuk ruang digital. “Kalau kebebasan ini dipersempit, kualitas demokrasi kita juga bisa ikut menyusut,” katanya, Minggu (14/9/2025).

Eddy mengakui, gagasan single account bisa menjadi sarana edukasi agar masyarakat lebih bertanggung jawab di ruang maya. Namun ia menekankan, yang lebih penting adalah memperkuat literasi digital dan etika bermedia sosial, bukan sekadar membatasi jumlah akun. “Seberapa pun akun yang dimiliki orang, kalau digunakan secara bijak, tetap bisa bermanfaat bagi pengetahuan publik,” tandasnya.

Di sisi lain, sejumlah pakar menilai kebijakan satu orang satu akun bakal sulit diterapkan secara teknis, apalagi tanpa sistem identitas digital yang mapan. Regulasi berlebihan juga dikhawatirkan menciptakan chilling effect, yakni membuat masyarakat takut berbicara di media sosial.

Wacana ini menegaskan dilema klasik antara mengendalikan hoaks dan menjaga kebebasan berekspresi. Pemerintah, DPR, hingga platform digital kini dituntut mencari titik tengah agar demokrasi digital tetap sehat—tanpa harus mengorbankan hak publik untuk bersuara. [*] Disarikan dari berbagai sumber berita media daring

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |