Waka Komisi II DPR Ingin Wajibkan WNI Memilih pada Pemilu, Ini Kata Pakar Politik UI

1 month ago 33

WAKIL Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin ingin mewajibkan warga negara Indonesia menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum. Dengan mewajibkan WNI memilih pada pemilu, Zulfikar meyakini kecurangan pemilu, utamanya yang berkaitan dengan penggunaan surat suara, dapat berkurang.

“Wajib. Memilih itu wajib. Kalau tidak memilih, nanti ada denda,” ucap Zulfikar dalam webinar bertajuk ‘Agenda Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia’ yang dipantau dari Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.

“Ini untuk mengurangi electoral fraud, gitu, ya. Untuk mengurangi perilaku yang tidak bagus,” kata dia menambahkan.

Dia merujuk pada keberhasilan Australia yang mewajibkan warga negaranya memilih pada pemilu. Di Australia, kata dia, setiap orang yang berusia 18 atau lebih wajib mendaftarkan diri sebagai pemilih, kecuali bila dirinya terganggu mental atau sedang menjalani masa hukuman kurungan lebih 3 tahun. Warga negara Australia yang tidak memilih pada hari pemilu bisa dikenai denda AUD$ 20 atau sekitar Rp 202 ribu.

Seperti dikutip dari situs web Kedutaan Besar Australia di Jakarta, seluruh warga negara Australia yang berusia di atas 18 tahun wajib memberikan suaranya dalam pemilihan umum pemerintah federal atau negara bagian, dan mangkir dari pemilu bisa mendapatkan denda atau tuntutan pidana.

Zulfikar mengatakan, untuk Indonesia, dapat diberlakukan sanksi berupa denda uang atau sanksi administrasi. Hingga saat ini, memilih dalam pemilu di Indonesia merupakan hak, bukan kewajiban. Karena itu, terdapat konsekuensi berupa angka partisipasi masyarakat yang rendah, dan bermuara pada tidak terpakainya sejumlah surat suara.

Selain berniat mewajibkan WNI memilih, Zulfikar juga menginginkan pemilu dibagi menjadi dua kategori, yakni nasional dan daerah dengan jeda hingga dua tahun antarpemilu.

Berbagai kalangan meyakini penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 pada tahun yang sama menjadi salah satu penyebab turunnya partisipasi masyarakat dalam memilih. Penurunan partisipasi pemilih terlihat pada perbandingan antara hak pilih yang digunakan pada Pemilu 2024 dengan Pilkada 2024.

Sebelumnya, KPU RI menyatakan partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen. Dalam pernyataannya di Jakarta pada Jumat, 29 November 2024, Komisioner KPU August Mellaz mengatakan angka tersebut masih dapat dikategorikan normal. Namun pada 23 November 2024, Komisioner KPU Idham Holik mengungkapkan lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.

KPU juga menyebutkan sejumlah 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilihnya pada pemilu presiden (Pilpres) 2024; kemudian 81,42 persen untuk pemilu anggota legislatif (pileg); dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI.

Pakar Sebut Ada Kelebihan dan Kekurangan jika Tak Memilih Bisa Dapat Sanksi

Menanggapi wacana itu, pakar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menyebutkan ada kelebihan dan kekurangan bila tidak memilih dalam pemilu bisa mendapatkan sanksi.

“Kelebihannya, memang bisa meningkatkan partisipasi pemilih sebenarnya karena wajib ya. Kemudian, orang juga mungkin merasa terikat untuk kontribusi dalam pemilu,” kata Cecep saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.

Kelebihan kedua, kata dia, dapat memperkuat legitimasi pemerintahan karena angka partisipasi pemilu yang tinggi.

“Selanjutnya, saya kira kesadaran. Jadi, karena wajib, ya, pemilu wajib akhirnya bisa mendorong masyarakat lebih peduli, misalnya, pada isu-isu politik, seperti calonnya siapa. Artinya, ada intervensi sehingga kemudian kesadaran politiknya bisa muncul, bisa tumbuh,” ujarnya.

Sementara itu, kata dia, kekurangan dari wacana tidak memilih mendapatkan sanksi adalah pemilih sudah tidak bebas lagi menentukan pilihannya. Padahal, kata dia, demokrasi menjamin kebebasan memilih tiap individu.

“Dia kan enggak memilih karena bisa beberapa hal. Bisa jadi dia enggak memilih karena enggak peduli siapa pun yang menang enggak ngefek buat dirinya, misalnya. Atau dia sudah puas, ya, enggak peduli. Jadi ini kan kekurangan. Jadi bertentangan dengan prinsip kebebasan,” kata dia.

Kekurangan berikutnya adalah pemilih tidak dapat dengan bijak saat memilih anggota DPR, kepala daerah, atau presiden dan wakil presiden.

“Bisa jadi dia enggak punya pilihan, tetapi disuruh memilih, akhirnya voting-nya asal-asal saja. Jika diwajibkan, ya, sebagian mungkin, ya, sudah sembarangan lah daripada diberi sanksi. Jadi menghindari sanksi, voting-nya tidak sesuai hati nurani,” tuturnya.

Terakhir, kata dia, sulitnya mekanisme pengawasan perihal warga negara yang tidak memilih pada pemilu. Dia juga mengatakan anggaran pengawasannya perlu dipikirkan oleh pemangku kepentingan terkait.

ANTARA

Pilihan editor: Alasan Fraksi PKB DPR Desak BPK segera Audit Dana Pemilu dan Pilkada 2024

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |