TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah akan mendengarkan masukan semua pihak dalam mengubah pasal mengenai syarat ambang batas presiden (presidential threshold) pada Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas presiden pada Pasal 222 UU pemilu.
Menurut Yusril, masukan perlu agar perumusan norma baru pengganti Pasal 222 UU Pemilu bisa sebaik-baiknya sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan lima rekayasa konstitusional dalam pertimbangan hukum putusan MK.
“Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu, dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” kata Yusril dalam Dies Natalis Universitas Islam Sumatera Utara yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa, 7 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Pakar hukum tata negara itu mengatakan para menteri terkait masih melakukan konsolidasi dan membahas bagaimana perubahan terhadap pasal perihal ambang batas presiden akan dilaksanakan.
Meski demikian, Yusril menegaskan pemerintah dan DPR akan mendengar semua masukan dan pertimbangan yang disampaikan semua pihak dan pemangku kepentingan, termasuk dari partai politik peserta pemilu, partai politik nonpeserta pemilu, akademikus, hingga berbagai tokoh masyarakat.
Yusril memandang setiap keinginan kembali menghidupkan ambang batas presiden setelah adanya putusan MK bisa saja disahkan oleh DPR. Namun Yusril meyakini, jika pembatasan itu kembali muncul, MK akan membatalkannya.
“Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu,” tuturnya.
Dari sudut pandang akademik, kata dia, apabila menggunakan tafsir tematik dan sistematik dengan cara menghubungkan pasal-pasal pemilu dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 6A, ambang batas presiden sejatinya tidak ada dan tidak mungkin akan ada.
Pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum dilaksanakannya pemilu (anggota DPR dan DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945.
Yusril menilai di situ terdapat rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi calon presiden dan calon wakil presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Rekayasa sebelumnya itu dibenarkan MK dengan alasan memperkuat sistem presidensial. Namun Yusril menuturkan Putusan MK Nomor 62/PUU-XII/2024 tanggal 2 Januari 2025 justru mengubah pendirian MK selama ini.
“Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke-33 MK mengabulkannya. Jadi ada qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru) di MK,” ucap Yusril.
Meski begitu, Yusril menegaskan pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Apa pun putusan yang diambil Mahkamah, pemerintah akan patuh pada MK. Kita tahu putusan MK bersifat final dan binding (mengikat) serta tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Kamis, 2 Januari 2025, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
MK menyatakan ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Soal Efisiensi Biaya Haji, MUI Minta Pelayanan kepada Jemaah Tetap Prima