2 Abad Lalu Cuaca Berlaku Aneh dan Matahari Berubah Biru, Ternyata Ini Sebabnya

22 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - "Cuaca yang aneh, hujan lagi sepanjang malam dan pagi ini, suhu udara seperti saat musim dingin, sudah ada salju tebal di atas bukit yang terdekat." Catatan itu berasal dari komposer Jerman Felix Mendelssohn saat dia bepergian melewati Pegunungan Alpen pada musim panas 1831. 

Saat itu, belahan bumi utara mengalami pendinginan sekitar satu derajat Celsius. Gagal panen dan kemiskinan karenanya dilaporkan dari banyak wilayah. Tapi, penampakan matahari yang berubah berwarna hijau, ungu, bahkan biru pada Agustus 1831 mungkin menjadi peristiwa paling aneh yang dilaporkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu pula para ilmuwan telah menduga kalau abu letusan vulkanik menjadi sebab dari semua fenomena tersebut. Satu gunung api yang tak diketahui letaknya di mana, telah meletus tanpa diketahui waktunya. Satu-satunya yang diyakini adalah erupsi itu telah mengirim kolom abu sulfur dioksida yang massif ke dalam atmosfer, menyebabkan pendinginan global.

Baru belakangan ini, sebuah studi dari tim ilmuwan di University of St. Andrews di Inggris menyatakan mereka telah memecahkan misteri yang telah berusia hampir dua abad itu. Abu letusan yang dimaksud diduga berasal dari Gunung Zavaritskii yang berlokasi terpencil di Kepulauan Kuril di arah barat laut Jepang atau antara Jepang dan Kamchatka, Rusia.

Peta yang menunjukkan letak Pulau Simushir di Kepulauan Kuril, di antara Jepang dan Rusia. Dok. Shutterstock

Ketua tim studi William Hutchinson, seorang doktor bidang vulkanologi di School of Earth and Environmental Sciences, mengatakan hal itu bisa diketahui berkat kemajuan teknologi yang memungkinkan lebih banyak analisis bukti gunung api. Hasil studi Hutchinson dan timnya telah dipublikasikan di jurnal Proceedings of The National Academy of Sciences (PNAS), terbit 30 Desember 2024.

"Kami mengembangkan kemampuan untuk mengekstrak serpihan abu mikroskopis dari inti es kutub dan membuat analisis geokimia detail terhadapnya," katanya dalam keterangan untuk pers yang dilansir Popular Mechanics. "Serpihan ini sangat kecil, kira-kira sepersepuluh diameter helai rambut."

Hutchinson dan tim lalu membandingkannya dengan sampel yang didapat dari ilmuwan di Rusia dan Jepang. Mereka mengirim sampel yang dikumpulkan dari Zavaritskii, gunung api terpencil di Pulau Simushir, Kepulauan Kuril, yang tak berpenghuni, beberapa dekade lalu. Hasil analisis menunjukkan kedua sampel serupa. 

"Momen di laboratorium ketika kami menganalisis kedua abu itu bersamaan adalah sebuah momen eureka," kata Hutchinson sambil menambahkan sampel-sampel begitu identik. "Setelahya saya menghabiskan banyak waktu menggali informasi umur dan ukuran erupsi dalam catatan Kuril untuk benar-benar memastikan apakah mereka sama."

Dalam abstrak laporan yang dikutip dari Jurnal PNAS, Hutchinson menggunakan data inti es yang bisa diketahui usianya dan catatan stratigrafis untuk menunjuk kawah Gunung Zavaritskii yang kini tampak terbuka sebagai asal datangnya abu yang terperangkap dalam beku di Greenland, kutub utara, itu. Lalu, dengan merekonstruksi magnitudo dan gaya radiatifnya didapat dugaan gunung api itu yang menyebabkan climate cooling pada 1831-1833 lalu.

Kaldera Gunung Zavaritskii di Kepulauan Kuril, September 2007. Dok. nasa.gov

Science Alert memberitakan, temuan ini menyangkal dugaan sebelumnya kalau erupsi Gunung Babuyan Claro di Filipina sebagai penyebabnya. Teori lain yang sempat berkembang, sulfur berasal dari Pulau Graham, sebuah gunung api di Selat Sisilia yang menghilang lalu muncul kembali.

Erupsi Gunung Zavaritskii yang sampai mengubah iklim bumi sebelah utara tersebut jauh dari catatan sejarah. Berbeda, misalnya, dengan erupsi terkenal Gunung Tambora pada 1815 yang menyebabkan setahun penuh tanpa musim panas di Amerika Serikat pada 1816 dengan danau-danau dan sungai-sungai membeku pada Juli.

Dalam contoh yang lebih kekinian, erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 tercatat telah mendinginkan suhu bumi satu derajat. Erupsi itu telah memompakan 15 juta ton sulfur dioksida ke atmosfer. Sebagai pembanding, perhitungan Hutchinson dkk, letusan Gunung Zavaritskii pada 1831 lalu melepaskan 13 juta ton sulfur dioksida. 

Jadi, untuk sementara misteri gunung api yang bikin penampakan matahari berubah menjadi biru ini terpecahkan. Hutchinson menyatakan, mempelajari sebanyak mungkin yang kita bisa mengenai letusan gunung api dapat menolong menyiapkan dunia etika erupsi masif terjadi tak terhindarkan lagi.

Menurutnya, ada begitu banyak gunung api seperti itu, yang menyorot betapa susanya memprediksi kapan atau di mana erupsi besar mungkin akan terjadi. "Sebagai ilmuwan dan sebagai masyarakat, kita perlu mengkoordinasikan sebuah respons internasional ketika erupsi besar kembali terjadi, seperti pada 1831."

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |