TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu memecat Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant pada Selasa, 5 November 2024. Netanyahu menunjuk Menteri Luar Negeri Israel Katz, sekutu dekatnya, untuk menggantikan Gallant. Lantas, apa sebenarnya alasan Netanyahu memecat Yoav Gallant?
Netanyahu mengatakan telah kehilangan kepercayaan pada Yoav Gallant atas pengelolaan perang Israel di Gaza dan Lebanon. "Selama beberapa bulan terakhir, kepercayaan itu telah terkikis. Mengingat hal ini, saya memutuskan hari ini untuk mengakhiri masa jabatan menteri pertahanan," kata perdana menteri dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Al Jazeera, Selasa, 5 November 2024.
Menurut Netanyahu, dalam masa perang ini dibutuhkan rasa saling percaya antara kepala negara dan menteri pertahanan. "Saya sudah berusaha menjembatani kesenjangan ini, namun yang terjadi perbedaan malah semakin menjauh. Masalah ini bahkan sampai mengemuka ke publik, di mana ini sikap yang tak bisa diterima bahkan keadaan semakin memburuk sampai diketahui musuh-musuh kami yang senang dengan keadaan ini dan mengambil keuntungan," kata Netanyahu, dikutip dari Reuters.com.
Yoav Gallant juga dipecat karena kesenjangan signifikan terkait memerangi kelompok Hamas dan Hizbullah. "Ada perbedaan serius yang muncul antara Gallant dan saya terkait dengan manajemen kampanye dengan segala silang pendapat dan tindakan yang bertolak belakang antara pemerintah dan keputusan kabinet," kata Netanyahu, Selasa, 5 November 2024.
Dikutip dari AP, Netanyahu dan Gallant telah berulang kali berselisih mengenai perang di Gaza. Misalnya, Netanyahu menyerukan tekanan militer berkelanjutan terhadap Hamas. Sementara Gallant mengambil pendekatan yang lebih pragmatis, dengan mengatakan bahwa kekuatan militer telah menciptakan kondisi yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurutnya, kesepakatan diplomatik bisa membawa pulang sandera yang ditahan oleh kelompok militan Hamas.
Gallant juga mengatakan tidak setuju dengan Netanyahu mengenai tiga isu utama. Adapun di antaranya mengakhiri pengecualian kontroversial dari rancangan militer bagi orang-orang ultra-Ortodoks, kebutuhan mendesak untuk kesepakatan penyanderaan, dan membentuk komisi resmi untuk menyelidiki kegagalan politik dan keamanan pada 7 Oktober, ketika militan Hamas menyerbu Israel dan membunuh 1.200 orang serta menyandera 250 orang lainnya.
Dia mengatakan penyelidikan penuh terhadap peristiwa 7 Oktober adalah satu-satunya cara untuk memastikan pemerintah mengambil pelajaran yang tepat. Kendati demikian, Netanyahu menolak seruan untuk melakukan penyelidikan, dan mengatakan bahwa hal itu hanya boleh dilakukan ketika perang telah usai.
Menilik lebih jauh, perselisihan terbuka acap terjadi antara Netanyahu dan Gallant. Masih melansir dari Al Jazeera, kondisi ini mencerminkan perpecahan yang lebih luas antara koalisi pemerintahan sayap kanan Israel dan militer, yang mendukung penghentian serangan terhadap Gaza dan membawa pulang puluhan tawanan yang ditahan oleh Hamas.
Gallant mengatakan perang itu tidak memiliki arah yang jelas. Sementara Netanyahu menegaskan bahwa pertempuran tidak akan berhenti sampai Hamas dihancurkan sebagai entitas pemerintahan dan kekuatan militer di Gaza. Israel sendiri memulai perangnya di Gaza setelah serangan yang dipimpin Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober 2023.
Ini adalah kedua kalinya Netanyahu memecat Gallant. Yang pertama pada Maret 2023, ketika Gallant mengkritik reformasi yudisial Israel, yang disebut Gallant membelah kehidupan sosial Israel serta mengancam militer Israel. Namun, setelah protes massal, perdana menteri mempekerjakannya kembali.
KHUMAR MAHENDRA | REUTERS | AP | AL JAZEERA
Pilihan Editor: Israel Sahkan Aturan untuk Penjarakan Anak Palestina di Bawah 14 Tahun