TEMPO.CO, Jakarta - Pro kontra penerapan PPN 12 persen per 1 Januari 2025 ditanggapi Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan, pemerintahan Presiden Prabowo berencana menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai itu."Ya hampir pasti diundur," kata Luhut di Jakarta, Rabu, 27 November 2024.
Menurut Luhut, penerapan kenaikan tarif baru PPN itu karena pemerintah akan memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.
"PPN 12 persen sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," kata mantan Menko Marinves itu.
Menurut dia, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12 persen, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.
"Karena kalau diberikan (dalam bentul BLT) takut dijudikan lagi nanti," katanya.
Dikatakan Luhut, untuk anggaran bantuan sosial tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta segera diselesaikan rancangan penyalurannya.
Pemerintah akan menerapkan tarif baru PPN 12 persen sesuai bunyi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pajak, yang memutuskan PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Namun rencana ini mendapat penolakan hampir dari seluruh lapisan masyarakat. Sejumlah organisasi pengusaha dari Apindo, Gapensi sampai Kadin menyerukan pemerintah menunda pelaksanaan tari baru PPN karena khawatir daya beli masyarakat makin turun.
Mengenai gelombang penolakan kenaikan PPN 12 persen, Ketua DEN itu menyatakan, hal tersebut hanya karena ketidaktahuan masyarakat terkait struktur kenaikan. "Ya karena orang kan belum tahu ini, struktur ini," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, dikutip di Jakarta, Kamis(13/11), Menkeu menjelaskan, penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi COVID-19.
Juru Bicara Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Jodi Mahardi mengatakan bahwa kebijakan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen sedang dikaji secara komprehensif untuk menyesuaikan dengan situasi ekonomi nasional dan global.
"Saya merujuk ke statement Pak Luhut tadi ya, kami perlu menyampaikan bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian mendalam," kata Jodi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, saat ini dunia maupun Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang akan berdampak pada ekonomi domestik. Tantangan itu antara lain seperti dampak dari terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, penurunan ekonomi Cina, dan melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dengan berbagai risiko dan tantangan ekonomi tersebut, ujar dia, pemerintah ingin menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
"Oleh karena itu berbagai kebijakan ekonomi, termasuk terkait PPN, tengah dikaji secara komprehensif guna memastikan keberlanjutannya sejalan dengan kondisi ekonomi nasional dan global," kata dia.
Organisasi Bisnis Penolak PPN 12 PersenSejumlah organisasi pengusaha ramai-ramai menolak rencana pemerintah menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen awal tahun depan.
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menilai rencana kenaikan PPN dapat menciptakan efek domino yang masif karena banyak pihak yang bakal terdampak langsung berawal dari harga material dan jasa konstruksi yang sebagian besar merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Sektor konstruksi memiliki efek multiplier yang besar. Jika sektor ini melemah, rantai pasokan material, tenaga kerja, dan jasa lainnya juga terdampak,” kata Sekjen Gapensi La Ode Safiul Akbar dalam keterangan resmi yang diterima Tempo pada Senin, 25 November 2024.
PPN 12 persen, kata dia, hanya akan menurunkan daya beli masyarakat yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat itu sendiri, terutama yang berasal dari kelas bawah. “Beban pajak tambahan berpotensi memperburuk ketimpangan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat berpenghasilan rendah,” tutur La Ode.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta pemerintah meninjau ulang rencana itu.
“Ini timing-nya belum pas, bukan soal 12 persen,” kata Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid di Jakarta Selatan, pada Selasa, 26 November 2024.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menegaskan bahwa Apindo dalam posisi kontra terhadap wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penolakan ini, kata Shinta, didasari kekhawatiran adanya penurunan konsumsi masyarakat imbas kenaikan PPN.
“Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik,” kata Shinta seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 22 November 2024.
Hari ini, Kamis, 28 November 2024, ia dijadwalkan bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk membahas kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pertemuan itu disebut Apindo atas panggilan Kemenkeu.
“Saya rasa pemerintah pada saat ini dalam posisi mau mendengar masukan-masukan,” kata dia saat ditemui usai konferensi pers “Visit Store Klingking Fun - Pesta Diskon Anti Golput Edisi Pilkada 2024” pada Rabu, 27 November 2024.
Shinta menerka, pemerintah saat ini mungkin mau bertukar pikiran bersama. “Saya yakin pemerintah juga mengerti situasi yang kita hadapi,” ujarnya.
Hanin Marwah, Adil Al Hasan, Vendro Immanuel, Nabiila Azzahra, Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor Pemerintah Turunkan Harga Tiket Pesawat 10 Persen saat Nataru, Pembelian Mulai 19 Desember