TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mendesak delegasi Indonesia berfokus membahas lima hal penting dalam Conference of the Parties 29 (COP29) di Baku, Azerbaijan. Aliansi yang terdiri dari 30 organisasi masyarakat sipil ini menyatakan keadilan iklim harus menjadi agenda utama yang diangkat oleh delegasi Indonesia.
“Dibanding berfokus pada solusi-solusi yang semakin memperparah kondisi ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat,” begitu bunyi pernyataan tertulis AKIRA, dikutip pada Senin, 11 November 2024.
Aliansi yang dibentuk pada 20 November 2023 ini berupaya mendorong pembuatan Undang-Undang Keadilan Iklim. Bila bisa diwujudkan, instrumen hukum tertinggi ini dianggap bisa mendorong kolaborasi untuk mengatasi krisis akibat perubahan iklim.
Merujuk pernyataan resminya, ARUKI mempertanyakan sikap pemerintah yang justru menggaungkan proyek lumbung pangan atau food estate yang selama ini dibanjiri kritik, karena diduga menggunduli hutan. Langkah untuk memperkenalkan perdagangan karbon hingga program carbon capture and storage (CCS) kepada peserta COP29 juga dipersoalkan. “Secara nyata tidak menjawab akar masalah krisis iklim dan justru menguntungkan korporasi penyumbang gas rumah kaca,” begitu pernyataan ARUKI.
Aliansi lantas menyarankan 5 hal berikut kepada delegasi Indonesia yang mengikuti COP29:
1. Berani berkomitmen dan memimpin agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target 1,5 derajat celcius
Dalam COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 2023, sudah muncul komitmen untuk menjaga suhu bumi supaya tidak mendekati 3 derajat celcius. Menjaga suhu bumi 1,5 derajat celcius hanya bisa dilakukan dengan ketegasan soal penghentian penggunaan energi fosil dan melindungi ekosistem.
Global Stocktake juga telah merekomendasikan peningkatan bauran energi terbarukan hingga tiga kali lipat [ada 2030. Dalam negosiasi, ARUKI meminta pemerintah mendorong komitmen bersama program kerja mitigasi dan transisi berkeadilan, pelindungan ekosistem dan pengembangan energi terbarukan, serta menekan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
2. Tegas menyatakan komitmen terhadap perlindungan dan pemulihan ekosistem
Akibat deforestasi berkepanjangan, data Global Forest Watch mencatat lebih dari 1,3 juta hektar penggundulan hutan terjadi di Indonesia pada 2023. Tekanan industri ekstraktif dan perluasan komoditi diduga sebagai pendorong utama deforestasi sebesar 1,1 juta hektar.
3. Mendesak negara-negara maju untuk memenuhi komitmen target pendanaan iklim
Pemerintah Indonesia diminta tidak menggunakan skema utang yang menambah beban dan kerugian bagi masyarakat rentan. Secara global, walau jumlah pendanaan iklim naik, tapi mayoritas masih dalam bentuk utang. Jumlah untuk pendanaan iklim pada 2021-2022 mencapai lebih dari US$ 561 miliar.
4. Harus mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya
ARUKI menyatakan pemerintah Indonesia perlu menjadi contoh bagaimana keadilan iklim itu bisa terwujud melalui penghapusan ketidakadilan akses terhadap sumber daya. Data Bank Dunia menunjukkan hanya 20 persen kelompok kaya yang menguasai total 46 persen ekonomi Indonesia dan terus mengalami pertumbuhan pendapatan, sementara sisanya malah turun.
Dari sisi penguasaan lahan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara mencatat 53 juta hektare penguasaan atau pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah pada 2022, namun hanya 2,7 juta hektar yang diperuntukan bagi rakyat. Sedangkan lahan yang dikelola korporasi di Kalimantan saja mencapai 24,73 juta hektar, perbandingan yang jauh dengan lahan yang dikelola rakyat sebesar 1,07 juta hektar.
5. Harus melindungi kelompok rentan
Pemerintah perlu melibatkan melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain, dalam mitigasi dan adaptasi. Situasi sosial-ekonomi timpang membuat masyarakat rentan berisiko terkena kriminalisasi, khususnya saat memperjuangkan hak atas iklim yang aman. Partisipasi publik yang aktif, termasuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, dianggap sebagai kunci untuk menghasilkan solusi iklim yang efektif dan adil.