TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2024 di sejumlah daerah. Manajer Hukum dan Advokasi JPPR, Dila Farhani, mengatakan, JPPR menemukan masalah mulai dari hal teknis, administrasi, hingga temuan politik uang.
"Meskipun sebagian besar TPS (tempat pemungutan suara) mengikuti prosedur yang telah ditentukan, masih ada kendala yang menghambat kelancaran pelaksanaan pilkada, baik dari sisi teknis maupun administratif," kata Dila dalam rilis resmi, Kamis 28 November 2024.
JPPR menemukan keterlambatan pembukaan satu TPS daerah Maluku Utara dan satu TPS di Jawa Tengah. Dila mengatakan, proses pemungutan suara baru dimulai setelah pukul 07.00. Penyebab utama keterlambatan karena belum lengkapnya saksi dan persiapan logistik, termasuk kesulitan teknis dalam membuka kotak suara.
"Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi antara penyelenggara pemilu di tingkat lokal masih memerlukan perhatian khusus," kata Dila.
Selain itu, JPPR juga menemukan masalah penempatan lokasi TPS. Beberapa TPS didirikan di area tempat Ibadah seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Penempatan ini dinilai bisa memunculkan persepsi keberpihakan.
JPPR juga menemukan ditemukan TPS yang berlokasi dekat dengan posko pemenangan calon, seperti Jakarta Timur, Jawa Tengah, Makassar, dan Ternate. Situasi ini berpotensi mengganggu independensi pemilih dan menciptakan tekanan psikologis yang tidak seharusnya terjadi dalam proses demokrasi.
Selain itu JPPR menemukan masalah administrasi pada sejumlah TPS di Jakarta Timur, Makassar, Ternate. TPS itu tidak memasang daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), serta informasi pasangan calon di area TPS.
"Transparansi yang minim dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu dan berpotensi menimbulkan sengketa hasil pemilu," kata Dila.
JPPR juga menemukan kekurangan logistik di sejumlah TPS daerah Lamongan. Dalam hal ini, tidak tersedia surat suara cadangan. Sehingga jika terjadi kesalahan atau kebutuhan tambahan, proses pemilu akan terganggu. "Situasi ini menunjukkan perlunya pengelolaan logistik yang lebih baik untuk mengantisipasi masalah di lapangan," kata Dila.
Dila mengatakan, JPPR juga menemukan partisipasi pemilih yang rendah di Tambora, Jakarta Barat dan Bandung, Jawa Barat. Hanya sekitar kurang dari 50 persen pemilih yang hadir untuk menggunakan hak pilih mereka. "Angka ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras dari penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat," kata Dila.
Masalah lain, JPPR menemukan fenomena politik uang di Halmahera Selatan, Jakarta Timur, Jawa Tengah, Sukoharjo,dan Luwu Timur Sulawesi Selatan. Wilayah Jawa Timur juga ditemukan beberapa temuan politik uang di antaranya di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kota Batu, Kota Probolinggo, Kabupaten Jember dan Lamongan.
Berdasarkan temuan Pilkada 2024, JPPR merekomendasikan Bawaslu memperkuat pengawasan di TPS dengan memastikan kesiapan logistik dan prosedur teknis yang optimal. Bawaslu juga harus menindak tegas pelanggaran oleh penyelenggara yang mengabaikan aturan, seperti transparansi data pemilih dan netralitas lokasi TPS.
Selain itu, Bawaslu perlu melakukan investigasi mendalam terkait politik uang, dengan menelusuri aktor-aktor utama dan memanfaatkan bukti. Pengawasan terhadap netralitas aparat juga harus diperketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat memengaruhi independensi pemilih.
"Langkah-langkah ini perlu didukung oleh penggunaan teknologi pemantauan real-time untuk deteksi dini pelanggaran, guna memastikan proses pemilu berjalan adil dan kredibel," kata Dila.