Bashar Al Assad Jatuh, Negara Eropa Tangguhkan Suaka bagi Pengungsi Suriah

1 month ago 27

TEMPO.CO, Jakarta - Jerman, Prancis, Austria dan beberapa negara Nordik di Eropa mengatakan pada Senin bahwa mereka akan membekukan semua permintaan suaka yang tertunda dari warga Suriah, sehari setelah penggulingan Presiden Bashar al Assad.

Seperti dilansir Al Arabiya, sementara Berlin dan negara-negara lain mengatakan mereka memperhatikan perkembangan pesat di negara yang dilanda perang tersebut, Wina mengisyaratkan akan segera mendeportasi pengungsi kembali ke Suriah.

Politisi sayap kanan di negara lain juga mengajukan tuntutan serupa, termasuk di Jerman, yang merupakan rumah bagi komunitas Suriah terbesar di Eropa, pada saat imigrasi telah menjadi isu hangat di seluruh benua.

Alice Weidel dari organisasi anti-imigrasi Alternatif untuk Jerman bereaksi atas demonstrasi massal Ahad yang dilakukan oleh warga Suriah yang bergembira merayakan jatuhnya al Assad.

“Siapa pun di Jerman yang merayakan ‘Suriah merdeka’ jelas tidak punya alasan lagi untuk melarikan diri,” tulisnya di X. “Mereka harus segera kembali ke Suriah.”

Para pemimpin dunia dan warga Suriah di luar negeri menyaksikan dengan rasa tidak percaya pada akhir pekan ketika pasukan oposisi menyerbu Damaskus, mengakhiri pemerintahan otoriter Assad dan juga memicu ketidakpastian baru.

Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Jerman menyatakan bahwa “fakta bahwa rezim Assad telah berakhir sayangnya tidak menjamin perkembangan damai” di masa depan.

Jerman telah menerima hampir satu juta warga Suriah, sebagian besar tiba pada 2015-2016 di bawah kepemimpinan mantan kanselir Angela Merkel.

Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser mengatakan banyak pengungsi Suriah “kini akhirnya memiliki harapan untuk kembali ke tanah air mereka di Suriah.” Namun, ia memperingatkan bahwa “situasi di Suriah saat ini sangat tidak jelas.”

Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi Jerman telah memberlakukan pembekuan keputusan mengenai prosedur suaka yang sedang berlangsung “sampai situasinya lebih jelas.”

Dia menambahkan bahwa “kemungkinan nyata kembalinya perekonomian Suriah belum dapat diprediksi dan tidak profesional untuk berspekulasi dalam situasi yang tidak menentu seperti ini.”

Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengecam pembekuan keputusan suaka, dan menekankan bahwa untuk saat ini “situasi hak asasi manusia di Suriah benar-benar tidak jelas.”

Kementerian Dalam Negeri Perancis mengatakan pihaknya juga akan menunda permintaan suaka dari warga Suriah.

Inggris menghentikan sementara keputusan mengenai permintaan suaka Suriah, kata juru bicara pemerintah setelah pasukan oposisi merebut ibu kota Damaskus pada akhir pekan.

“Kementerian Dalam Negeri telah menghentikan sementara keputusan mengenai klaim suaka Suriah sementara kami menilai situasi saat ini,” kata juru bicara Kemendagri dalam sebuah pernyataan.

“Kami selalu meninjau semua panduan negara terkait permohonan suaka sehingga kami dapat merespons isu-isu yang muncul.”

Keputusan Inggris diambil setelah Jerman, Austria dan negara-negara Eropa lainnya memerintahkan penghentian permohonan suaka warga Suriah setelah Presiden Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia setelah 13 tahun perang saudara.

Perang memaksa jutaan warga Suriah meninggalkan negaranya.

Kebanyakan dari mereka pergi ke Turki dan negara-negara tetangga lainnya. Namun, warga Suriah juga merupakan sebagian besar dari lebih dari satu juta orang yang melarikan diri ke Jerman dan Austria selama krisis migrasi Eropa pada 2015 dan 2016.

Di Inggris, pada akhir Februari 2021, lebih dari 20.000 pengungsi Suriah telah dimukimkan kembali berdasarkan skema pemerintah, menurut Dewan Pengungsi.

‘Repatriasi dan Deportasi’

Di Austria, tempat tinggal sekitar 100.000 warga Suriah, Kanselir konservatif Karl Nehammer menginstruksikan kementerian dalam negeri “untuk menangguhkan semua permohonan suaka Suriah yang sedang berjalan dan meninjau semua pemberian suaka.”

Menteri Dalam Negeri Gerhard Karner menambahkan bahwa dia telah “menginstruksikan kementerian untuk mempersiapkan program repatriasi dan deportasi ke Suriah secara tertib.”

“Situasi politik di Suriah telah berubah secara mendasar dan, yang terpenting, dengan cepat dalam beberapa hari terakhir,” kata kementerian tersebut, seraya menambahkan bahwa pihaknya “saat ini sedang memantau dan menganalisis situasi baru tersebut.”

Denmark, Swedia dan Norwegia juga mengatakan pada Senin bahwa mereka menangguhkan pemeriksaan permohonan suaka dari pengungsi Suriah.

Pemimpin partai sayap kanan Demokrat Swedia, yang merupakan mitra koalisi di pemerintahan, mengatakan izin tinggal bagi pengungsi Suriah sekarang harus “dikaji ulang.”

“Kekuatan Islam yang merusak berada di balik pergantian kekuasaan di Suriah”, tulis pemimpin mereka Jimmie Akesson di X.

“Saya melihat kelompok-kelompok tersebut gembira dengan perkembangan ini di Swedia. Anda harus melihatnya sebagai kesempatan bagus untuk pulang.”

Di Yunani, juru bicara pemerintah menyuarakan harapan bahwa jatuhnya Assad pada akhirnya akan memungkinkan “kembalinya pengungsi Suriah dengan aman” ke negara mereka, namun tanpa mengumumkan langkah-langkah konkrit.

‘Populis dan Tidak Bertanggung jawab’

Di Jerman, perdebatan ini mendapat momentum menjelang pemilu Februari.

Oposisi kanan-tengah, CDU, menyatakan bahwa para pencari suaka asal Suriah yang ditolak kini harus kehilangan apa yang mereka sebut sebagai perlindungan tambahan.

“Jika alasan perlindungan tidak berlaku lagi, maka pengungsi harus kembali ke negara asalnya,” kata anggota parlemen CDU Thorsten Frei kepada Welt TV.

Anggota parlemen CDU Jens Spahn menyarankan agar Berlin menyewa penerbangan ke Suriah dan menawarkan 1.000 euro kepada “siapa pun yang ingin kembali.”

Anggota Partai Sosial Demokrat pimpinan Kanselir Olaf Scholz mengkritik debat tersebut sebagai “populis dan tidak bertanggung jawab.”

Wakil Partai Hijau Anton Hofreiter juga mengatakan “sama sekali tidak jelas apa yang akan terjadi selanjutnya di Suriah” dan pembicaraan deportasi “sama sekali tidak tepat.”

Banyak warga Suriah di Jerman yang menyaksikan peristiwa tersebut di negara asal mereka dengan penuh kegembiraan. Namun, mereka lebih memilih untuk menunggu dan melihat sebelum memutuskan apakah akan kembali ke negaranya.

“Kami ingin kembali ke Suriah,” kata Mahmoud Zaml, 25 tahun, yang bekerja di sebuah toko kue Arab di Berlin, seraya menambahkan bahwa ia berharap dapat membantu “membangun kembali” negaranya.

“Tetapi kami harus menunggu sebentar sekarang,” katanya. “Kami harus melihat apa yang terjadi dan jika keadaan benar-benar aman 100 persen, maka kami akan kembali ke Suriah.”

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |