Bukan Hanya Tempat Kuliah, Kampus Jadi Ruang Pembentukan Manusia

5 hours ago 10

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG - Jika dicermati, kampus merupakan tempat yang unik. Ia dapat menjadi lingkungan yang sangat akademis, namun di saat yang sama juga penuh dengan dinamika yang tak terduga. Di satu sisi, mahasiswa mempelajari berbagai teori besar dari para dosen yang berbicara serius tentang moralitas dan integritas.

Namun di sisi lain, tak jarang ditemui mahasiswa yang datang terlambat dengan santai sambil membawa minuman, lalu beralasan, “Maaf, macet, Pak,” padahal jarak antara kos dan kampus hanya beberapa gang saja.

Di antara deretan gedung perkuliahan, tumpukan kertas fotokopian, serta obrolan santai di warung kopi depan kampus, di situlah sebenarnya etika mahasiswa terbentuk.

Etika tidak hanya lahir dari mata kuliah Etika Profesi, melainkan juga dari hal-hal sederhana dalam keseharian. Misalnya, cara menyapa petugas keamanan di pagi hari, bagaimana merespons dosen ketika ditegur, hingga kesediaan untuk meminta maaf saat melakukan kesalahan dalam komunikasi kelompok.

Lingkungan kampus dapat diibaratkan sebagai tempat berlatih menjalani kehidupan. Di sini, mahasiswa belajar berinteraksi dengan individu dari berbagai latar belakang dan karakter. Ada yang sangat ambisius hingga rela mengorbankan waktu tidur, namun ada pula yang begitu santai hingga melupakan jadwal ujian.

Dalam proses inilah, perbedaan pandangan sering kali muncul. Kadang memperkaya diskusi, namun tak jarang juga menimbulkan perdebatan yang berujung pada perpecahan dalam hubungan sosial.

Etika di lingkungan kampus sejatinya tidak semata-mata diukur dari kebiasaan mengenakan batik setiap hari Kamis atau memberi salam saat memasuki kelas. Lebih dari itu, etika merupakan refleksi dari bagaimana seseorang memperlakukan orang lain, bahkan ketika tidak ada pihak yang menyaksikan.

Hasil penelitian Universitas Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa 68 persen mahasiswa mengakui lingkungan kampus sangat memengaruhi sikap sosial mereka. Artinya, kampus yang memiliki budaya positif seperti bisa menghargai perbedaan, mendukung kegiatan organisasi, serta mendorong kolaborasi, akan melahirkan mahasiswa dengan karakter dan etika yang lebih baik. Sebaliknya, lingkungan kampus yang individualistis dan abai dengan nilai-nilai sosial berpotensi menumbuhkan egoisme dan sikap apatis.

Keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan juga menjadi ruang belajar yang penting. Melalui berbagai kegiatan, mahasiswa belajar bekerja sama, berkomunikasi dengan sopan, serta memahami arti tanggung jawab. Kesalahan dalam menjalankan tugas, teguran dari senior, hingga dinamika dalam kepanitiaan, semuanya menjadi pengalaman berharga yang tak ditemukan di silabus perkuliahan.

Menariknya, pengalaman sering kali menjadi guru terbaik dalam membentuk etika. Misalnya, ketika seorang mahasiswa mendapat teguran karena menyontek atau terlambat mengumpulkan tugas, dari situlah muncul kesadaran akan pentingnya kejujuran, disiplin, dan rasa malu.

Menurut Mohamad Syamsul Aziz, Kepala Kampus Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Cikampek, yang dikenal sebagai Kampus Digital Kreatif, kampus ideal bukan hanya tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat menumbuhkan karakter.

“Kampus seharusnya jadi ruang aman untuk tumbuh. Di sini, mahasiswa nggak cuma belajar teori, tapi juga belajar menghormati, berempati, dan bertanggung jawab. Etika itu pondasi yang akan mereka bawa ke dunia kerja nanti,” ujarnya.

Ucapan itu mungkin terdengar sederhana, tapi jika direnungkan, benar adanya. Dunia kerja nanti tidak hanya menuntut kemampuan teknis, tapi juga kepribadian yang kuat dan beretika. Dan semua itu mulai dibentuk dari bangku kuliah.

Karena kuliah itu bukan cuma soal mendapat nilai A atau gelar sarjana. Kuliah, kaya dia, adalah soal bagaimana kita belajar jadi manusia yang tahu batas, tahu sopan, dan tahu bagaimana menghormati orang lain.

Oleh karena itu, apabila ada yang beranggapan bahwa kampus hanyalah tempat untuk mempelajari teori, barangkali ia belum benar-benar merasakan dinamika kehidupan kampus. Mungkin, orang itu belum pernah berbincang dengan ibu kantin, membantu panitia kegiatan yang panik karena perlengkapan hilang, atau meminta maaf kepada dosen akibat kesalahan mengirim surel pada dini hari.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |