TEMPO.CO, Jakarta - Di lantai 4 Gedung A Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Eddy Hiariej mengetuk pintu Zainal Arifin Mochtar. Eddy yang menjabat sebagai guru besar hukum pidana memiliki ruangan yang hampir berhadap-hadapan dengan ruang kerja pakar hukum tata negara itu.
Profesor yang bernama asli Edward Omar Sharif Hiariej itu mengajak Zainal untuk mengobrol sejenak di tengah-tengah jadwal perkuliahan. Diskusi itu merupakan agenda rutin yang mereka lakukan.
Zainal menuturkan pertemuan tersebut tak sekadar untuk bertukar pikiran. Pria yang akrab disapa Uceng itu mengungkap bahwa obrolannya bersama Eddy Hiariej kerap diselingi dengan permainan domino.
Dari duel dalam permainan kartu itu, Zainal bersepakat dengan Eddy untuk menulis sebuah buku pegangan kuliah yang kini mereka terbitkan dengan judul Dasar-dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum. "Jadi, Anda bisa bayangkan, buku ini lahir dari ngobrol-ngobrol sembari main domino," kata Zainal saat menghadiri kuliah umum dan kajian buku di Auditorium Djokosoetono Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Jumat, 11 Oktober 2024.
Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM itu menyebut penentuan rancangan struktur buku magnum opus itu berhasil dia dan Eddy selesaikan dalam waktu dua hari. Zainal juga mengungkap bahwa konten buku itu sempat ingin ditambahkan oleh mendiang mantan Dekan FH UGM, Sigit Riyanto, namun tertunda dan akhirnya batal. "Kami bagi, 'Bagian ini ditulis ente (Eddy), ini ditulis saya, ini ditulis Prof Sigit.' Lalu kami mulai menuliskannya," ujarnya.
Beda Jalan Eddy Hiariej dan Zainal Arifin Mochtar
Eddy Hiariej dan Zainal Arifin Mochtar merupakan dua pakar hukum UGM yang memiliki sikap politik yang bertolak belakang. Eddy memiliki kedekatan dengan rezim Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia sempat ditunjuk sebagai wakil menteri hukum dan hak asasi manusia (wamenkumham) sebelumnya akhirnya terseret kasus dugaan suap. Kini Eddy Hiariej juga dipanggil menghadap presiden terpilih Prabowo Subianto yang sedang menyeleksi calon menteri dan wakil menteri.
Eddy Hiariej memiliki peran kunci saat memenangkan Jokowi pada 2019 dan Prabowo Subianto pada 2024 dalam sidang perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi berseberangan, Zainal merupakan pakar hukum yang langganan memberikan kritik kepada pemerintahan Jokowi. Dia juga dikenal luas usai membintangi film dokumenter Dirty Vote garapan sutradara Dandhy Laksono bersama dua pakar hukum lain, Bivitri Susanti dan Feri Amsari. Film itu mengungkap berbagai kecurangan yang dilakukan Jokowi dalam memenangkan kubu Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden (pilpres).
Menanggapi perbedaan sikap itu, Eddy membenarkan perdebatannya dengan Zainal telah berlangsung lama. Dia mengaku sering memiliki pandangan yang saling berlawanan dengan Zainal. "Saya selalu mengatakan bahwa lawan dalam berdebat itu adalah kawan dalam berpikir," tutur Eddy.
Eddy membutuhkan gagasan yang berseberangan dengan dirinya agar bisa mendapatkan perspektif baru. Sebagai ahli hukum pidana, Eddy menyatakan tetap membutuhkan disiplin ilmu lain sebagai pembanding.
Sebagai contoh, Eddy mengungkit perdebatannya dengan Zainal dalam program Mata Najwa di FH UI pada 10 Agustus 2022. Saat itu, Eddy dan Zainal memiliki perspektif yang saling bertolak belakang soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). "Ketika kami berdebat di auditorium ini dalam acara Mata Najwa, itu ada pengayaan dan memperluas wawasan," tuturnya.
Eddy juga mengungkap bahwa kolega mereka di FH UGM turut mempertanyakan hubungan mereka yang selalu diiringi dengan perdebatan tajam. "Kok bisa akrab-akrab saja?" ucap Eddy menirukan percakapannya dengan para koleganya.
Iklan
Eddy juga mengungkit soal perdebatannya dengan Zainal lewat penulisan opini di Harian Kompas, di antaranya tentang RKUHP dan pemilihan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perselisihan dan Persahabatan Eddy-Zainal
Zainal turut membenarkan perbedaan sikapnya dengan Eddy. Dalam perang opini lewat media massa, dia mengaku kerap melawan pemikiran Eddy. Perdebatannya melawan Eddy di Harian Kompas membuat jurnalis senior Najwa Shihab mempertemukan mereka di acara Mata Najwa.
"Akhirnya, Najwa Shihab yang mengontak, 'Sudah. Kalian saya pindahin ke UI saja debatnya.' Karena Kompas sudah bilang, 'Kami sudah enggak terima lagi ya'," kata Zainal.
Tak sampai di situ, Zainal juga mengungkap pernah memberhentikan Eddy dari Pusat Studi Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM. "Sampai beberapa profesor menelepon saya, 'Kalian apa sih? Kok berantem terus?'," ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Eddy melayangkan surat pemberhentian diri dari PUKAT UGM usai menjadi ahli untuk terdakwa dalam kasus korupsi pada Agustus 2011. Saat itu, Zainal menjabat sebagai Direktur PUKAT UGM.
Zainal menuturkan tetap berteman baik dengan Eddy meski sering berbeda pandangan. Bagi dia, pemikirannya dalam terus terasah jika memiliki lawan sepadan seperti Eddy.
Zainal membandingkan hubungannya dengan Eddy seperti Ketua Partai Komunis Indonesia DN Aidit dan Ketua Umum Partai Masyumi Mohammad Natsir. Aidit dan Natsir dikenal sering berdebat di Konstituante dalam periode 1956-1969.
"Pokoknya, mereka bisa saling sikat. Tapi, begitu selesai perdebatan, mereka ngopi bareng, pulang bareng," tuturnya.
Selanjutnya, Zainal juga mengungkap bahwa Eddy merupakan pembimbing skripsinya saat menempuh pendidikan sarjana di UGM. Saat itu, Zainal yang mengambil konsentrasi hukum pidana berhasil menjadi mahasiswa favorit Eddy. "Orang bilang, saya dan Mas Eddy kayak Tom and Jerry dalam banyak hal," ucapnya.
Pilihan Editor: Dianggap Langgar Etik dan Pidana, Alexander Marwata Bilang Belum Dipanggil Dewas KPK