JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi masalah gizi anak sekolah kini menuai sorotan. Meski sudah disalurkan lebih dari 924 juta porsi di berbagai daerah, sejumlah siswa justru terlihat enggan menyantap menu yang disediakan.
Fenomena ini sempat viral di media sosial. Dalam salah satu unggahan, dua siswa sekolah dasar secara spontan mengaku tidak suka dengan makanan yang mereka terima. Situasi ini memantik diskusi luas tentang kualitas, menu, hingga tata kelola anggaran MBG.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengakui adanya masalah di lapangan. Ia menyebut pemetaan menyeluruh sedang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar angka penolakan tersebut. “Kita perlu survei lebih dulu: menu apa yang tidak disukai, faktor apa yang memengaruhi penerimaan anak. Itu semua jadi dasar perbaikan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Dadan mengatakan tim ahli gizi dan pelaksana program kini sedang mendata ulang, termasuk mengevaluasi menu yang dianggap monoton. “Kami ingin mendengar langsung suara siswa dan guru,” tambahnya.
Seruan evaluasi datang dari berbagai kalangan. Peneliti sosial dari The Indonesian Institute, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menilai situasi ini merupakan alarm serius bagi pemerintah. Ia berpendapat BGN tidak cukup hanya memperbaiki menu, tetapi perlu mengkaji keseluruhan desain program.
“Fenomena ini seharusnya dijadikan momentum moratorium sementara agar pemerintah bisa melakukan audit menyeluruh. Evaluasi harus menyentuh aspek distribusi, keamanan pangan, standar nutrisi hingga mekanisme pengawasan,” tegas Natasya.
Menurutnya, pendekatan partisipatif adalah kunci. Siswa, guru, pakar gizi, akademisi, hingga masyarakat sipil harus dilibatkan dalam survei umpan balik agar masalah lebih terpetakan. “Kalau ternyata persoalan jam distribusi atau selera bahan pangan lokal, solusinya jelas berbeda dengan persoalan SOP keamanan makanan,” jelasnya.
Ia juga mendorong pemerintah menggandeng UMKM lokal agar menu MBG lebih sesuai kearifan daerah, sekaligus membuka peluang inovasi menu supaya anak lebih tertarik.
Nada kritis juga datang dari Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Menurutnya, pemberian MBG secara merata perlu ditinjau ulang. Ia menyarankan agar program ini lebih tepat sasaran pada anak-anak stunting atau kekurangan gizi.
“Kalau anak dari keluarga mampu sudah bergizi baik, lalu menunya tidak cocok, wajar mereka tidak makan. Tapi yang benar-benar butuh harus tetap jadi prioritas,” kata Ubaid.
Ia mengingatkan agar alokasi dana MBG tidak menggerus pos anggaran pendidikan. Menurutnya, banyak kebutuhan pendidikan yang jauh lebih mendesak, seperti peningkatan kompetensi guru, perbaikan sekolah rusak, dan perluasan akses pendidikan bagi anak miskin.
“Kalau anggaran pendidikan habis untuk program makan gratis, sementara sekolah masih roboh dan jutaan anak belum sekolah, itu ironis. Pemerintah perlu menyeimbangkan prioritas,” tegasnya.
Ubaid bahkan menyinggung aspek hukum. Ia menyebut Pasal 31 UUD 1945 dan putusan MK menegaskan pembiayaan pendidikan ditanggung negara. “Kalau dana pendidikan dipakai untuk program yang kurang tepat, bisa bertentangan dengan amanat konstitusi,” ujarnya.
Dengan berbagai catatan itu, MBG kini berada di persimpangan. Di satu sisi, program ini diharapkan memperbaiki gizi anak. Di sisi lain, pelaksanaannya memunculkan persoalan baru mulai dari menu, manajemen distribusi, hingga penggunaan anggaran.
Para pakar menekankan satu pesan: makanan gratis saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kualitas, ketepatan sasaran, dan keberlanjutan program agar benar-benar menjawab kebutuhan gizi anak Indonesia. [*] Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.