Ini Tips Sukses Menjadi Pambiwara dalam Acara Tradisi Jawa

4 hours ago 11
Pernikahan dalam adat budaya Jawa tentu akan berjalan lancar jika ada peran Pambiwara, atau pembawa acara dalam bahasa Jawa | Wikipedia

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Menjadi pambiwara, atau pembawa acara dalam tradisi Jawa,  termasuk dalam acara pernikahan, bukan sekadar soal pandai berbicara di depan umum saja. Lebih dari itu, seorang pambiwara adalah sosok penjaga tatanan, penerus unggah-ungguh, dan pengatur suasana agar jalannya acara terasa hidup sekaligus tetap mampu menjaga wibawa.

Banyak yang mengira tugas pambiwara cukup membaca naskah atau memandu acara secara formal. Padahal, di balik tutur halus dan busana tradisional yang dikenakan, tersimpan tanggung jawab besar untuk menjaga harmoni antara bahasa, adat, dan rasa.

Karena itu, seorang pambiwara harus mempersiapkan beberapa hal berikut ini:

Siapkan Diri Lahir dan Batin

Sebelum naik ke panggung, seorang pambiwara perlu menyiapkan dirinya secara menyeluruh — penampilan, suara, hingga mental. “Pambiwara itu bukan hanya bicara, tapi menata suasana,” ungkap Ki Puspa Budyasustra dalam bukunya Menjadi MC Profesional & Ahli Pidato Bahasa Jawa Pranatacara lan Sesorah (Araska, 2019).

Latihan olah vokal dan artikulasi menjadi penting agar suara terdengar jelas dan berwibawa, tanpa kehilangan kelembutan khas Jawa. Selain itu, sikap tubuh juga mesti dijaga agar tidak terlalu mencolok namun tetap percaya diri.

Pahami Jenis Acara dan Audiens

Setiap acara memiliki karakter berbeda. Seorang pambiwara yang membawakan hajatan pernikahan tentu akan menggunakan gaya tutur berbeda dibanding pambiwara dalam acara resmi kenegaraan atau tradisi adat.

Kunci utamanya adalah memahami konteks. Siapa tamu yang hadir, suasana seperti apa yang diharapkan, serta kapan saatnya berimprovisasi tanpa menyalahi pakem.

Buku Panduan MC & Ragam Sambutan dalam Bahasa Jawa terbitan DIVA Press bahkan memberi contoh konkret sambutan dan kalimat pembuka sesuai jenis acara — dari resepsi manten, khitanan, hingga acara resmi desa.

Bahasa Jawa Sebagai Jiwa

Bahasa adalah nafas pambiwara. Memilih tingkat tutur (ngoko, madya, atau krama) dengan tepat menjadi bentuk penghormatan kepada tamu dan peserta acara.

“Bahasa Jawa itu bukan sekadar alat komunikasi, tetapi simbol tata krama,” tulis blog Desa Dengok, Gunungkidul, dalam artikel “Belajar MC Bahasa Jawa”.

Dengan menguasai bahasa dan etika tutur, pambiwara tidak hanya tampak fasih, tapi juga menjaga nilai-nilai kejawaan tetap hidup di tengah arus modernitas.

Kendalikan Situasi dan Tutup dengan Elegan

Tak jarang, pambiwara menghadapi situasi di luar rencana: mikrofon mati, tamu kehormatan datang terlambat, atau jadwal bergeser.

Di sinilah ketenangan dan improvisasi diuji. Kalimat seperti “Sinambi nengga rawuhipun tamu, mangga kita aturi sesarengan ngraosaken…” bisa menjadi jembatan waktu tanpa menurunkan wibawa acara.

Penutup yang elegan pun menjadi tanda profesionalitas sang pambiwara. Ucapan pamungkas dengan bahasa krama dan doa penutup yang lembut akan meninggalkan kesan mendalam bagi hadirin.

Misalnya:

“Mugi acara menika maringi rahayu dhumateng kita sedaya. Matur nuwun sanget dhumateng panitia lan para rawuh sedaya.”

Menjaga Tradisi, Menjaga Adab

Lebih dari sekadar profesi, menjadi pambiwara adalah bentuk pelestarian budaya tutur Jawa. Di era serba cepat dan digital ini, keberadaan pambiwara justru semakin penting untuk menjaga nilai kesopanan, ketertiban, dan harmoni dalam acara masyarakat.

Bagi siapa pun yang ingin menekuni peran pambiwara, bekal utama bukan hanya suara, tapi juga rasa. Yakni  rasa hormat, rasa sabar, dan rasa tanggung jawab terhadap keluhuran budaya sendiri. [*]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |