WONOGIRI, JOGLOSEMARNEWS.COM – Momentum Lebaran dan musim hajatan yang berlangsung di berbagai wilayah Wonogiri tak serta-merta meningkatkan konsumsi elpiji 3 kilogram. Justru sebaliknya, permintaan terhadap gas bersubsidi tersebut terpantau cenderung stabil.
Hal ini disebabkan oleh kebiasaan sebagian besar warga, khususnya di wilayah pedesaan, yang masih memilih menggunakan kayu bakar untuk memasak saat menggelar hajatan.
Fenomena ini cukup kontras jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Di kota-kota besar, permintaan elpiji 3 kilogram kerap melonjak saat Lebaran atau musim hajatan tiba.
Namun di beberapa kecamatan pedesaan di Wonogiri seperti Jatisrono, Slogohimo, Karangtengah, Batuwarno, Baturetno, Paranggupito, Giritontro, hingga Tirtomoyo, dan lainnya warga justru lebih banyak mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energi memasak.
“Dua minggu setelah Lebaran ini saya hajatan mantu. Semua masakan, dari nasi, sambal goreng, ayam ingkung, daging sapi, sampai wedang, dimasak pakai kayu bakar. Hasilnya lebih mantap. Dan yang paling penting, jauh lebih hemat,” tutur Warsi di sela-sela kesibukan hajatan di rumahnya, Sabtu (12/4/2025).
Ia menuturkan, untuk satu hajatan yang membutuhkan ribuan porsi makanan dan minuman, penggunaan kayu bakar bisa memangkas biaya operasional dapur dibanding jika menggunakan gas elpiji. Di sisi lain, akses terhadap kayu bakar juga masih sangat mudah di daerahnya.
“Di sini banyak kebun, banyak tetangga yang jual kayu kering. Bahkan kalau musim kemarau, kadang bisa cari sendiri di pinggir hutan atau ladang,” jelas warga lainnya, Endang.
Pernyataan senada disampaikan Sukini (61), warga lainnya yang kerap diminta membantu memasak saat hajatan. Ia menilai masakan yang dimasak dengan kayu bakar memiliki cita rasa yang lebih kuat dan aroma yang lebih menggugah selera.
“Kalau bikin wedang, nasi, lauk, pakai kayu bakar itu beda rasanya. Asapnya memberi aroma tersendiri. Banyak orang kampung sini yang bilang lebih ‘nendang’ di lidah,” ujar Sukini sambil tertawa kecil.
Sementara itu, pemilik pangkalan elpiji 3 kilogram di Sisri (46), membenarkan bahwa permintaan gas melon selama musim Lebaran dan hajatan tetap normal. Tidak ada peningkatan signifikan dibandingkan hari-hari biasa.
“Biasanya saya ambil 20 tabung per minggu dari agen. Sampai sekarang ya tetap segitu. Kadang malah turun kalau banyak warga yang hajatan karena mereka pakai kayu bakar. Sudah biasa seperti itu setiap tahunnya,” ungkap Sisri.
Menurutnya, kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Meskipun pemerintah terus mendorong transisi energi bersih, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan kebiasaan warga masih menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan sumber bahan bakar dapur terutama untuk acara besar seperti hajatan.
“Kalau buat masak sehari-hari, gas masih laku. Tapi kalau hajatan, apalagi yang masaknya gotong-royong besar-besaran, pasti pakai kayu. Warga sini sudah hafal biayanya,” tambah dia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa peran tradisi, kondisi ekonomi masyarakat, serta ketersediaan bahan baku lokal masih sangat kuat memengaruhi pola konsumsi energi masyarakat desa. Kayu bakar, meskipun dianggap kurang efisien secara lingkungan, tetap menjadi pilihan karena murah, mudah, dan dianggap menghasilkan masakan yang lebih lezat. Aris Arianto