TEMPO.CO, Jakarta - Alya Hiroko Oni, seorang pengacara muda sekaligus anak dari terdakwa Ike Farida, hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin siang, 25 November 2024. Alya berbagi cerita tentang perkara kriminalisasi yang telah membelenggu keluarganya selama lebih dari satu dekade.
Perkara yang berawal dari sengketa pembelian apartemen pada 2012 lalu, berkembang menjadi tuduhan sumpah dan keterangan palsu. Dari perdata ke pidana, kasus ini menyeret nama ibunya ke pusaran konflik hukum yang panjang dan melelahkan.
Alya tidak menyembunyikan kekecewaannya terhadap aparat penegak hukum yang dinilai abai terhadap putusan hukum berkekuatan tetap. Dia mengungkapkan, ibunya menjadi korban kriminalisasi mafia peradilan. “Kadang aku bingung, buat apa ada hukum? Buat apa ada peradilan? Orang-orang saling bunuh aja kan? Kasarnya begitu, tapi kan di depannya seolah-olah ada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi pelanggarannya itu amat sangat parah, amat sangat gila," katanya kepada Tempo saat ditemui usai sidang duplik ibunda.
Ketika ibunya dipenjara, Alya mengambil peran untuk melawan. Dia menjadi salah satu tim kuasa hukum untuk ibunya. Ia bercerita, Ike Farida kini mendekam di Rutan Pondok Bambu sejak akhir September 2024. Usai penangkapan, yang menurut Alya tragis sebab tanpa pemanggilan apa pun. Alya mengatakan polisi menangkap Ike Farida di Bandara Soekarno Hatta dengan tindak kekerasan.
Sementara itu, keluarganya terus menghadapi tekanan dari berbagai pihak. Alya menegaskan ibunya adalah korban dari pengembang yang mencoba menghindar dari tanggung jawab. Meski telah memenangkan 10 putusan hukum berkekuatan tetap, tekanan terhadap Ike tak kunjung berhenti. “Aku hanya ingin keluarga kami menjadi korban terakhir,” kata Alya sambil menghela napas.
Dari pantauan Tempo di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Alya terlihat tegas membacakan pembelaan untuk ibunya saat duplik berlangsung sekitar pukul 5 sore WIB. "Terdakwa telah membayar lunas satu unit apartemen Casa Grande Residence dengan hasil jerih payah tabungannya. Namun, pengembang PT Elite Prima Hutama yang sampai dengan hari ini tidak patuh secara hukum, terbukti dalam persidangan telah melanggar hukum," tutur Alya di hadapan Majelis Hakim.
Usai persidangan, Ike dan Alya pun berpelukan. Ike, yang merupakan seorang dosen bergelar Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu turut memeluk beberapa kerabat yang hadir memberikan semangat.
Kasus Ike Farida bermula dari konflik panjang dengan PT EPH, pengembang apartemen Casa Grande Residence. Pada 2012, Ike membeli unit apartemen secara tunai, tapi pengembang menolak menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Akta Jual Beli (AJB). Alasannya, hukum mensyaratkan adanya perjanjian perkawinan pisah harta bagi warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA).
Dalam kasus Ike, ia menikah dengan pria asal Jepang tanpa perjanjian pisah harta. Gugatan Ike terhadap PT EPH berakhir pahit. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, hingga Mahkamah Agung (MA) menolak tuntutannya, dengan alasan tidak ditemukan bukti wanprestasi dari pihak pengembang. Namun, Ike tidak menyerah. Ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan membawa bukti baru atau novum. Kali ini, MA memenangkan Ike, mengakui haknya atas unit apartemen tersebut.
Meski begitu, kemenangan tersebut berbuntut panjang. Ike dilaporkan oleh PT EPH atas dugaan memberikan sumpah dan keterangan palsu. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ike diduga mengetahui bahwa novum berupa surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta tertanggal 27 November 2015 telah digunakan dalam sidang di PN Jakarta Selatan tahun yang sama. Namun, surat tersebut kembali diajukan dalam permohonan PK.
Jaksa menuduh Ike secara sadar membaca, menyetujui, dan memberikan paraf pada dokumen tersebut sebelum diajukan oleh kuasa hukumnya. Kasus ini menjadikan Ike sebagai terdakwa dengan tuntutan setahun setengah hukuman penjara. Di tengah proses hukum yang berjalan, Ike terus mempertahankan posisinya sebagai korban kriminalisasi oleh pengembang. “Saya hanya ingin memperjuangkan hak saya sebagai konsumen,” kata Ike.