TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Kawal Rancangan Undang-Undang Nomor18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) menilai pembahasan RUU PPMI tidak demokratis dan tidak transparan.
Anggota koalisi sekaligus Koordinator Departemen Media dan Kampanye Serikat Buruh Migran Indonesia Novia Kirana mengatakan, DPR tidak melibatkan masyarakat sipil secara bermakna dalam proses pembahasan RUU itu. Padahal, keterlibatan masyarakat secara bermakna dalam proses legislasi seharusnya ada di setiap tahapan pembentukan UU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejak tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan harusnya dilibatkan berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," kata Novia dalam keterangan resmi, Ahad, 16 Maret 2025.
Menurut Novia, proses revisi ini sama dengan penyusunan UU Cipta Kerja, yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Inkonstitusional Bersyarat pada tahun 2020. Dalam pertimbangan putusan MK itu, proses UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 karena tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang undangan.
Novia menjelaskan, sejak RUU PPMI ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025, DPR RI tidak pernah melibatkan Jaringan Advokasi dalam memberikan masukan terhadap draf RUU PPMI.
Pada 30 Januari 2025 SBMI, Jaringan Buruh Migran atau JBM, dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia atau KSBSI, yang merupakan bagian dari Jaringan Advokasi, diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Namun, sebelum pertemuan RDPU tersebut, Jaringan Advokasi tidak pernah mendapatkan draf RUU PPMI dan Naskah Akademik.
"DPR RI juga tidak membuka informasi publik terhadap dua dokumen tersebut," kata dia.
Berdasarkan rapat yang disiarkan melalui laman Youtube Baleg DPR RI, Panitia Kerja RUU PPMI telah menyelesaikan RUU Perubahan yang akan dibawa pada Rapat Pandangan Mini Fraksi 18 Maret 2025.
Jaringan Advokasi telah meminta draf terakhir RUU PPMI dari DPR RI. Namun, draf ini tidak pernah diberikan secara resmi kepada Jaringan Advokasi maupun tidak dipublikasikan melalui laman resmi DPR RI.
Menurut Novia, pembahasan RUU PPMI seharusnya difokuskan kepada perubahan nomenklatur kementerian dalam mengakomodir adanya perubahan kelembagaan pelindungan PMI. Dalam hal ini, perlu ada penambahan ‘Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia’ dan aspek kelembagaan pelindungan PMI lainnya. Pembahasan juga perlu membahas mekanisme koordinasi pemerintah, monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewenangan Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten/Kota, dan Desa.
Berdasarkan asesmen Jaringan Advokasi, norma pelindungan yang tercantum dalam UU PPMI selama ini mencerminkan standar internasional. Namun, Pemerintah Indonesia gagal melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban dalam pelindungan PMI sebagaimana diamanatkan UU PPMI. Kegagalan ini karena lemahnya koordinasi antar pemerintah di berbagai tingkatan dan monitoring dan evaluasiterhadap tugas Pemerintah dalam pelindungan PMI.
Menurut Novia, faktor kegagalan lain adalah lambatnya penerbitan aturan-aturan turunan UU 18/2017, termasuk di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran.
Selain itu, belum ada Peraturan Presiden tentang Atase Ketenagakerjaan yang jelas-jelas diamanatkan oleh UU PPMI. Di tingkat provinsi, hanya 4 (empat) provinsi yang baru mengeluarkan peraturan daerah dan/atau gubernur tentang pelindungan PMI pasca pengundangan UU PPMI. Selain itu, masih sedikit jumlah pemerintah kabupaten/kota dan desa yang menetapkan aturan tentang pelindungan PMI.
Novia menambahkan, beberapa norma pelindungan yang telah dijamin dalam UU 18/2017 hingga kini juga belum terimplementasikan secara efektif. Khususnya terkait akses terhadap keadilan, restitusi dan kompensasi bagi korban, dan jaminan sosial.
"Hal ini juga disebabkan oleh ketidakjelasan mekanisme pengawasan serta monitoring dan evaluasi terhadap implementasi UU PPMI. Hal ini mengakibatkan adanya kesenjangan antara norma yang diatur dengan realitas di lapangan," kata dia.
Tempo sudah mencoba menghubungi Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengenai hal ini. Namun, dia belum merespons.
Adapun DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) membahas RUU PPMI ini.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia sebelumnya mengatakan bahwa Panja PPMI masih menggodok ihwal pemberian pengampunan atau amnesti bagi pekerja migran Indonesia nonprosedural.
"Ini yang tadi dalam perdebatan. Jadi kami belum selesai sampai masalah pengampunan," kata Doli ditemui usai rapat Panja Penyusunan RUU PPMI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 4 Maret 2025 diktutip Antara.
Dia mengatakan pemberian amnesti terhadap pekerja migran Indonesia nonprosedural menjadi upaya pembenahan yang diakomodasi melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) agar dapat bekerja secara legal.
"Bahwa fakta selama ini ada pekerja ilegal makanya harus diurus pemerintah, tadi caranya adalah mereka dilegalkan," ucapnya.
Dia menyebut prosedur pembenahan pekerja migran Indonesia nonprosedural atau ilegal agar dapat bekerja secara legal itulah yang masih dielaborasi oleh Panja Penyusunan RUU PPMI pada hari ini, apakah melalui amnesti, pemutihan, atau pendataan.
"Nanti kami cari prosedurnya, tadi ada beberapa alternatif, ada pakai istilah pengampunan, kemudian ada istilah pemutihan administratif, ada kemudian. Pokoknya banyak alternatifnya, tapi yang jelas adalah supaya dia di sana menjadi legal," ucapnya.
Pengaturan tersebut, kata dia, akan berkaitan pula dengan pendekatan teknis yang harus ditempuh pekerja migran Indonesia nonprosedural agar dapat menjadi legal.
Antara berkonstribusi dalam tulisan ini