(Beritadaerah-Kolom) Dalam pernyataan yang mencerminkan arah masa depan teknologi dan ketenagakerjaan, CEO Nvidia Jensen Huang menyampaikan bahwa semua perusahaan pada akhirnya akan memerlukan apa yang ia sebut sebagai “pabrik AI” atau AI factories. Berbicara dalam acara publik baru-baru ini seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal, Huang menekankan bahwa pusat data generasi berikutnya bukan sekadar infrastruktur digital, tetapi mesin produktivitas masa depan yang mampu menciptakan pekerjaan bernilai tinggi di bidang kecerdasan buatan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam konteks Asia Tenggara, peluang membangun AI factory masih sangat terbuka. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan pertumbuhan digital yang cepat, bisa menjadi basis regional untuk pusat data dan pelatihan AI. Namun, tantangan terbesar adalah kesiapan infrastruktur: jaringan listrik, pusat komputasi, dan sumber daya manusia.
Laporan dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi ekonomi digital hingga USD 130 miliar pada 2025. Namun, agar AI bisa menjadi bagian dari pertumbuhan itu, perlu investasi besar-besaran di bidang pendidikan teknik, pelatihan AI, serta regulasi data. Beberapa perusahaan lokal sudah mulai mengembangkan solusi AI di bidang pertanian, logistik, dan keuangan, tetapi masih jauh dari skala AI factory seperti yang dibayangkan Huang.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menunjukkan minat dalam pengembangan teknologi AI melalui Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial. Namun, realisasi di lapangan masih terbatas. Membangun AI factory berarti bukan hanya soal membeli perangkat keras, tetapi menciptakan ekosistem lengkap—mulai dari universitas yang memproduksi tenaga ahli, infrastruktur cloud lokal, hingga kebijakan data yang jelas.
Jika Indonesia ingin menjadi pemain, bukan hanya konsumen, dalam ekonomi AI, maka inisiatif seperti pelatihan teknisi AI, program beasiswa komputasi, serta insentif investasi untuk pusat data harus menjadi prioritas. AI factory bisa menjadi simbol kemandirian digital dan kekuatan ekonomi masa depan, tetapi hanya jika negara bersedia berinvestasi sejak sekarang.
Dalam berbagai pernyataan publik, Huang menyampaikan bahwa setiap perusahaan di masa depan akan membutuhkan “pabrik AI”—sebuah pusat data yang berfungsi untuk melatih, menyimpan, dan mengoperasikan model AI. Lebih dari sekadar server atau infrastruktur cloud, AI factory adalah sistem terintegrasi yang memungkinkan perusahaan mengambil keputusan otomatis, meningkatkan efisiensi, dan membuka pintu bagi jenis-jenis layanan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Huang menegaskan, “Di masa lalu, Anda membangun pabrik untuk merakit mobil atau komputer. Hari ini, Anda membangun pabrik AI untuk menghasilkan kecerdasan.” Dalam kerangka pikirannya, AI adalah bentuk baru dari tenaga kerja, dan AI factory adalah tempat tenaga kerja itu dilatih dan dioperasikan. Ini bukan sekadar retorika teknologi, melainkan visi strategis yang kini mulai diwujudkan di lapangan.
Nvidia sendiri sedang mendorong ekosistem tersebut melalui berbagai inovasi, termasuk GPU generasi terbaru seperti Blackwell yang dirancang untuk beban kerja AI berskala besar. Perusahaan ini juga menjalin kemitraan dengan penyedia cloud, operator pusat data, serta produsen semikonduktor untuk memastikan rantai pasok yang kuat bagi era baru ini. Selain itu, Nvidia mendorong pembentukan pusat-pusat pelatihan AI dan laboratorium inovasi di berbagai negara, termasuk kemungkinan perluasan ke kawasan Asia Tenggara.
Namun, pendorong utama dari kebangkitan AI factory justru berasal dari dua kekuatan besar: transformasi ekonomi digital dan kebutuhan geopolitik. Di satu sisi, perusahaan di hampir semua sektor—dari manufaktur, ritel, logistik, keuangan, hingga kesehatan—sedang berupaya mengintegrasikan AI ke dalam sistem operasional mereka. Di sisi lain, pemerintah, khususnya Amerika Serikat, sedang mengejar kemandirian teknologi dari Tiongkok, mendorong produksi dalam negeri untuk chip, pusat data, dan software AI.
Seiring dengan meningkatnya permintaan ini, konsep AI factory menjadi semakin relevan. Huang menjelaskan bahwa perusahaan tidak perlu membangun pusat data berskala raksasa seperti yang dimiliki Google atau Amazon. Sebagian besar perusahaan hanya membutuhkan micro AI factory—sebuah cluster server berkapasitas menengah yang dapat dikustomisasi untuk keperluan internal. Namun, di sinilah tantangan dimulai.
Membangun dan mengoperasikan AI factory tidaklah mudah. Infrastruktur ini membutuhkan tenaga listrik besar, sistem pendingin efisien, keamanan siber tingkat tinggi, serta keahlian teknis yang langka. Huang menekankan bahwa masa depan pekerjaan akan sangat terkait dengan AI, tetapi bukan berarti manusia akan digantikan. Sebaliknya, AI membuka jalan bagi munculnya pekerjaan-pekerjaan baru, mulai dari teknisi pusat data, pelatih model bahasa, analis etika AI, hingga pengembang sistem multiagen.
Menurut CNBC, Nvidia saat ini sedang membantu mitra industrinya merekrut dan melatih puluhan ribu tenaga kerja baru di AS. “Kami ingin memastikan bahwa pabrik AI menciptakan pekerjaan, bukan hanya mesin,” ujar Huang. Bahkan, ia menambahkan bahwa AI factory dapat menjadi solusi revitalisasi ekonomi di wilayah-wilayah yang sebelumnya mengalami deindustrialisasi. Di tempat bekas pabrik baja atau batubara, kini bisa dibangun pusat komputasi AI.
Langkah Nvidia juga mendapat dorongan dari kebijakan pemerintah. Undang-undang seperti CHIPS and Science Act di AS memberikan insentif besar bagi perusahaan teknologi untuk berinvestasi dalam produksi domestik. Huang sendiri telah berdiskusi dengan pejabat tinggi AS untuk memastikan bahwa investasi Nvidia berada dalam jalur strategis nasional. Hal ini semakin memperkuat posisi perusahaan sebagai pemain utama dalam geopolitik teknologi global.
Namun, tidak semua pihak menyambut optimisme ini tanpa kritik. Beberapa analis memperingatkan bahwa AI factory bisa menjadi “mesin emisi digital” jika tidak dikendalikan. Laporan Nature dan MIT Technology Review menyoroti bahwa pelatihan model AI besar dapat mengonsumsi energi setara ribuan rumah tangga dan menghasilkan emisi karbon signifikan. Untuk itu, Huang menekankan pentingnya efisiensi: GPU Nvidia kini dirancang untuk menghasilkan performa tinggi dengan daya serendah mungkin, serta mendukung pendinginan berbasis cairan dan AI.
Selain itu, masalah akses juga menjadi sorotan. AI factory bisa memperlebar kesenjangan digital antara perusahaan besar dan kecil, atau antara negara maju dan berkembang. Huang mendorong agar sistem ini dapat diakses melalui layanan cloud sehingga UKM, startup, hingga institusi pendidikan tetap bisa berpartisipasi dalam ekosistem AI. Dalam hal ini, Nvidia sedang mengembangkan model open-source dan hardware dengan harga lebih terjangkau untuk mendukung demokratisasi teknologi.
Dari sisi bisnis, AI factory menjanjikan perubahan besar dalam model operasional. Perusahaan tidak lagi mengandalkan manusia untuk seluruh proses, tetapi juga AI untuk menangani tugas-tugas rutin atau analitik kompleks. Di sektor kesehatan, misalnya, AI dapat mendiagnosis lebih cepat dan akurat. Di bidang logistik, AI bisa mengoptimalkan jalur pengiriman secara real time. Bahkan di industri kreatif, AI factory memungkinkan produksi video, musik, dan tulisan dengan efisiensi tinggi.
Namun, adopsi teknologi ini tetap harus disertai regulasi dan kerangka etika. Huang secara terbuka mendukung pembuatan pedoman penggunaan AI yang bertanggung jawab. Dalam wawancara dengan Financial Times, ia mengatakan, “Teknologi adalah kekuatan netral. Apa yang membuatnya baik atau buruk adalah manusia dan institusi di baliknya.” Oleh karena itu, Nvidia juga bekerja sama dengan universitas dan lembaga kebijakan untuk menyusun panduan penggunaan AI yang aman dan adil.
Jensen Huang tentang AI factory bukan sekadar inovasi teknologi. Ini adalah pergeseran paradigma tentang bagaimana perusahaan beroperasi, bagaimana manusia bekerja, dan bagaimana negara bersaing. Seperti revolusi industri yang ditandai oleh mesin uap dan listrik, revolusi AI ditandai oleh pusat data dan model bahasa. Di tengah semua ini, Nvidia dan pemimpinnya berada di garis depan, membentuk masa depan yang masih terus ditulis.