TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Akuntansi di Universitas Gadjah Mada Wuri Handayani mengingatkan agar pemerintah memandang isu disabilitas ini dari perspektif sosial. "Indonesia masih perlu terapkan perspektif sosial model di pemerintah, dan itu perlu didesakkan," kata Wuri dalam acara “Breaking Barriers” di Soehanna Hall, Energy Building pada 5 Desember 2024.
Pendekatan perspektif sosial model disabilitas artinta melihat disabilitas dari sudut pandang yang berbeda. Menurut pendekatan ini, persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal yakni lingkungan sosial, dan bukan konsekuensi dari kekurangan fisik ataupun mental individu. Artinya, banyak hambatan yang dihadapi oleh individu dengan disabilitas sebenarnya disebabkan oleh kurangnya aksesibilitas atau dukungan dari lingkungan dan masyarakat mereka. Pendekatan ini menawarkan cara yang lebih menyeluruh untuk mendidik dan memberikan kesempatan bagi individu dengan disabilitas.
Dengan memahami bahwa disabilitas bukanlah masalah individual, melainkan hasil dari interaksi antara individu dan lingkungannya, pendekatan sosial model disabilitas bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Ini berarti menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung semua individu, termasuk individu dengan disabilitas. Dengan cara ini, individu dengan disabilitas dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibatasi oleh stigma atau diskriminasi.
Wuri mengatakan memang selama beberapa tahun terakhir, sudah banyak perubahan dan peningkatan akses yang diberikan kepada para penyandang disabilitas. Walau begitu, masih banyak yang menjadi catatan. Ia mencontohkan dalam hal struktur organisasi. Menurutnya selama ini isu disabilitas hanya ditangani oleh Kementerian Sosial. Padahal masih banyak disabilitas tidak hanya soal bantuan sosial.
Dalam hal pendidikan, ia contohkan, selama ini penyandang disabilitas dianjurkan untuk bersekolah di sekolah luar biasa (SLB). Artinya, pemerintah seharusnya menyediakan sekolah luar biasa bagi kelompok masyarakat itu. Namun ternyata masalahnya SLB kebanyakan hanya ada di kota besar saja. "SLB di kota kecil jarang sekali ada. Padahal kan perlu juga," katanya menambahkan.
Dari segi jumlah pun masih belum seimbang. Jumlah SLB di tingkat SMP lebih sedikit dibanding di tingkat SD. Lalu jumlah SLB di tingkat SMA lebih sedikit dibanding di tingkat SMP. "Bahkan sampai saat ini tidak ada sekolah luar biasa di tingkat universitas," katanya.
Dalam hal transportasi pun masih banyak catatannya. Memang sudah banyak alat transportasi yang ramah disabilitas. Namun masih lebih banyak pula yang belum bisa diakses oleh penyandang disabilitas. "Perlu ada perubahan mindset, dan implikasinya ke kebijakan," kata Wuri yang mendukung mahasiswa disabilitas melalui program buddy system.
Sebelumnya, Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember, British Council dan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menyelenggarakan acara “Breaking Barriers” di Soehanna Hall, Energy Building. Acara ini menyoroti komitmen Inggris dan Indonesia untuk mendorong inklusivitas dengan mengatasi tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang kurang terwakilkan seperti penyandang disabilitas, perempuan, kelompok muda dan mereka yang berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Ketua Tim Kebijakan Iklim dan Keuangan/Ketua Tim Disabilitas di Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Felicity Le Quesne, mengatakan setiap pemangku kebijakan perlu melihat disabilitas dari perspektif yang berbeda. "Disabilitas bisa dilihat dari sisi keberagamannya, dan itu bukan hal yang buruk. Coba lihat berapa banyak potensi sumber daya manusia yang diberikan para penyandang disabilitas," katanya.
Felicity pun menambahkan bahwa masyarakat disabilitas juga bisa menjadi sumber kreativitas, serta memberikan opini yang berbeda. "Tidak ada solusi yang pasti dalam mengatasi isu disabilitas. Pemerintah perlu mendengar pendapat dan pandangan dari para penyandang disabilitas sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan dan aturan," katanya.