Penahanan Dokumen Kelulusan di Sleman, Sarang Lidi: Tunggakan Biaya Sekolah Tak

1 week ago 20

Ilustrasi | kreasi AI

SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM Polemik dugaan penahanan dokumen kelulusan siswa SD Muhammadiyah Bayen, Kalasan, Sleman, masih menjadi sorotan publik. Dinas Pendidikan Sleman mulai turun tangan dengan memfasilitasi mediasi antara orang tua siswa, Rudy Sumakto, pihak sekolah, dan organisasi Muhammadiyah.

Sementara itu, LSM Sarang Lidi menyuarakan kritik keras, yakni  menegaskan bahwa tunggakan biaya tidak bisa menjadi dasar untuk menahan dokumen pendidikan.

Sekretaris LSM Sarang Lidi, Siti Zoura Humaira, mengingatkan bahwa hak anak atas pendidikan tidak boleh dikompromikan oleh persoalan administratif.

“Jika ada tunggakan, itu menjadi urusan antara orang tua dan sekolah. Jangan anak yang dikorbankan. Kalau pun sekolah merasa dirugikan, silakan tempuh jalur hukum, bukan menahan dokumen,” kata Siti, Jumat (18/7/2025), usai pertemuan dengan Disdik Sleman.

Siti mengklaim Rudy memiliki iktikad baik dengan menyatakan kesiapan melunasi tunggakan sekitar Februari 2026. Namun, penahanan dokumen berdampak serius karena menghambat proses pendaftaran ke sekolah negeri. Rudy bahkan mengusulkan agar Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Bayen, Sutarlan, diberhentikan.

Dinas Pendidikan Sleman sendiri mengakui peristiwa itu  sebagai bahan evaluasi. Kepala Bidang Pembinaan SD, Rira Meuthia, menyatakan pihaknya akan mempertemukan seluruh pihak yang terkait untuk mencari solusi yang adil dan mendidik.

“Kami menerima laporan bahwa dokumen yang ditahan adalah SKHASPD, yang merupakan dokumen penting dalam proses SPMB. Dokumen asli dibutuhkan untuk verifikasi sistem, dan keterlambatan pengurusan menyebabkan siswa gagal mendaftar sekolah negeri,” ujar Rira.

Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PDM Sleman, Ari Wibowo, menjelaskan kronologi dari sisi Muhammadiyah. Ia mengungkap bahwa tunggakan biaya pendidikan telah berlangsung selama enam tahun, dengan pembayaran hanya dilakukan pada bulan pertama kelas 1 SD.

Menurut Ari, Kepala Sekolah hanya menjalankan arahan dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) yang meminta agar pelayanan administrasi ditangguhkan sampai ada penyelesaian.

“Tiga dokumen—SKL, SKHB, dan SKHASPD—hanya diberikan salinan fotokopi untuk sementara waktu,” jelasnya.

Namun, ketika diketahui bahwa dokumen asli diperlukan untuk pendaftaran, PDM langsung meminta kepala sekolah menyerahkannya. Pada 3 dan 4 Juli 2025, pihak sekolah mengundang Rudy untuk mengambil dokumen, tetapi yang bersangkutan menolak hadir.

PDM akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan berkomitmen untuk mengedukasi seluruh sekolah Muhammadiyah agar tidak mengulangi kesalahan serupa.

“Kami mengakui ada kekeliruan prosedur. Tapi kami juga melihat itikad baik sekolah yang tetap melayani pendidikan meski ada tunggakan,” ujar Ari.

Ia menambahkan bahwa sekolah telah berupaya mencarikan bantuan beasiswa melalui Dinas Sosial, namun Rudy tidak menindaklanjuti tawaran tersebut. Dalam mediasi yang berlangsung 21 Juli, Rudy tetap menolak menerima dokumen dan menyatakan akan menempuh jalur hukum.

“Kami khawatir bila kasus ini masuk ke ranah pidana, akan berdampak lebih buruk bagi kondisi psikologis anak. Kami siap memberikan pendampingan psikologis gratis melalui tenaga profesional,” kata Ari.

Rudy, di sisi lain, merasa pihak sekolah telah wanprestasi karena tidak memenuhi kesepakatan memberikan dokumen non-ijazah yang diperlukan untuk aktivasi akun SPMB. Ia mengaku telah mengajukan surat tertulis yang menyatakan komitmen pelunasan tunggakan pada 24 Juni 2025.

“Yang saya minta sebenarnya hanya keadilan untuk anak saya. Kami akan membawa persoalan ini ke ranah hukum, dan sedang menyiapkan bukti-bukti,” ujar Rudy.

Sementara itu, Pemkab Sleman menegaskan bahwa penahanan dokumen kelulusan siswa melanggar ketentuan, tetapi mereka juga memahami keterbatasan sekolah swasta dalam hal pendanaan. Kabag Hukum Pemkab Sleman, Hendra Adi, mengatakan bahwa jika mediasi gagal, maka proses hukum adalah jalur terakhir yang harus dihormati.

Dengan ketegangan yang belum sepenuhnya reda, kasus tersebut  menjadi cermin penting bagi pengelolaan pendidikan swasta dan hak-hak dasar siswa, terutama di tengah tantangan ekonomi pasca-pandemi. Semua pihak kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar: bagaimana menyeimbangkan antara kewajiban membayar dan hak memperoleh pendidikan?  [*] Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |