TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan pengembangan bersama (joint development) dengan Cina yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto berpotensi melanggar undang-undang.
“Bila joint development ini benar-benar direalisasikan, maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar,” kata Hikmahanto Juwana dalam keterangannya kepada Tempo, Rabu, 13 November 2024.
Presiden RI Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping telah mengeluarkan Joint Statement pada 9 November lalu. Dalam butir 9 dengan judul "The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation" disebutkan bahwa "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims"
Hikmahanto mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim Sepuluh Garis Putus (dulu disebut Sembilan Garis Putus) oleh Cina yang tumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara.
Apabila benar, kata Hikmahanto, artinya kebijakan Indonesia berkaitan dengan klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis. Sehingga hal ini menjadi perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.
Padahal hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh Garis Putus dari Cina. Apalagi klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), di mana Indonesia dan Cina adalah negara peserta.
“Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada 2016 telah menegaskan klaim sepihak Cina tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS,” ujarnya.
Namun adanya joint statement 9 November lalu membuat Indonesia telah mengakui klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus. Sebab, Hikmahanto menjelaskan bahwa Joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling tumpang tindih.
Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia. Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Cina. Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Cina. Pemerintah selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan Cina.
“Bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah Cina, maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan,” katanya.
Bisa Picu Ketegangan Kawasan
Hikmahanto menjelaskan, negara-negara yang berkonflik dengan Cina sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara ASEAN.
“Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak Cina karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia,” tuturnya. “Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan.”
Menurut Hikmahanto, apabila joint development dengan Cina di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan, Cina justru adalah pihak yang mendapat keuntungan besar. Bahkan, Cina bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh ditangannya.
“Ini tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi,” kata dia.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan resminya pada Senin, 11 November 2024, menjelaskan kesepakatan kerja sama ini sejalan dengan semangat Declaration of the Conduct of the Parties di Laut Cina Selatan yang telah disepakati negara-negara ASEAN dan Cina pada 2002 serta upaya untuk menciptakan perdamaian di kawasan Laut Cina Selatan.
Kendati demikian, Kemenlu menegaskan sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim Sepuluh Garis Putus. “Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan begitu, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” kata Kemlu.