TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta akan menggandeng berbagai pihak untuk mengevaluasi rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada Jakarta 2024. Ketua Divisi Teknis KPU Jakarta Doddy Wijaya mengatakan perlu kajian lebih dalam untuk mengetahui penyebab partisipasi rendah di Pilkada Jakarta, sehingga KPU perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak.
“Kami akan melakukan evaluasi lebih lanjut ya. Kami akan melakukan riset, melakukan kajian. Mungkin kami bisa mengundang lembaga yang kredibel atau kampus untuk meneliti voting behavior atau perilaku memilih,” kata Doddy di Jakarta, Ahad, 8 Desember 2024, seperti dikutip dari Antara.
Dalam catatan KPU Jakarta, jumlah partisipasi pemilih Pilkada Jakarta 2024 menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Angka partisipasi pemilih pada pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya sekitar 4,3 juta suara, sementara jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih berada di angka 53,05. Pada Pilkada 2007 dan 2012, partisipasi pemilih mencapai sekitar 65 persen. Sedangkan Pilkada 2017 jumlahnya meningkat lebih dari 70 persen.
Rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta itu mendapat sorotan dari berbagai kalangan.
Partai Demokrat: KPU DKI Bertanggung Jawab atas Rendahnya Partisipasi Pemilih
Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrat Jakarta Taufik Tope Rendusara meminta KPU DKI Jakarta bertanggung jawab atas anjloknya angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2024. Menurut dia, Pilkada Jakarta harus diulang dengan melibatkan pemilih yang lebih banyak.
“KPUD Jakarta harus bertanggung jawab dan Pilkada Jakarta harus diulang karena menghasilkan pilkada yang tidak legitimasi,” kata Taufik di Jakarta, Senin, 9 Desember 2024.
Dia menegaskan pilkada yang menghasilkan legitimasi kuat akan mendatangkan kestabilan politik dan perubahan sosial selama pemerintahan. Pengakuan dan dukungan masyarakat akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat.
“Dalam situasi yang sulit, pemerintah yang memiliki legitimasi dari masyarakat akan lebih mudah mengatasi permasalahan dibanding pemerintah yang kurang mendapatkan legitimasi,” ujar Taufik.
Dia meyakini legitimasi akan membuka kesempatan yang semakin luas kepada pemerintah bukan hanya untuk memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak diatasi, tapi juga meningkatkan kualitas kesejahteraan itu. Sehingga, untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi, bisa dilihat tiga faktor, yakni secara simbolis, materiel, dan prosedural.
“Saya langsung lompat ke cara ketiga, secara prosedural. Metode ini ditempuh dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakilnya, wakil rakyat, kepala daerah, ataupun referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum,” kata dia.
Namun, kata dia, Pilkada Jakarta 2024 dengan pemenang hanya memperoleh 25 persen jumlah suara pemilih bisa dikatakan tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Dia menilai perbuatan KPU DKI telah melanggar administrasi proses pelaksanaan Pilkada Jakarta 2024.
“Karena dengan secara sadar tidak melaksanakan tugasnya yaitu mengirimkan atau memberikan formulir C6 kepada warga Jakarta yang memiliki hak pilih dan cenderung membiarkan warga Jakarta tidak menggunakan hak pilihnya,” ujar Taufik.
Pengamat Politik Universitas Andalas, Asrinaldi: Turunnya Partisipasi Pilkada Jakarta Juga Tanggung Jawab Parpol
Pengamat politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi, mengatakan turunnya angka partisipasi pemilih pada Pilkada Jakarta 2024 bukan sepenuhnya kesalahan KPU DKI Jakarta. Dia menuturkan angka partisipasi pemilih juga merupakan tanggung jawab dari partai politik.
“Tanggung jawab ini banyak pihak, terutama parpol karena dia berhubungan langsung dengan konstituen. Jadi parpol juga harus mendorong terkait angka partisipasi ini termasuk pemerintah,” kata Asrinaldi saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Asrinaldi menjelaskan selama ini banyak pihak menganggap angka partisipasi pemilih merupakan seutuhnya tanggung jawab dan pekerjaan dari KPU. Padahal, KPU hanya menyelenggarakan administrasi dan proses pemilihan.
Dia juga menilai penyelenggaraan pilkada serentak yang terlalu dekat dengan pemilihan presiden membuat perhelatan politik tersebut kurang diminati masyarakat.
“Rendahnya partisipasi pemilih di pilkada ini hampir merata seluruh Indonesia. Itu juga sangat mengkhawatirkan. Saya yakin ini karena dampak dari keserentakan pemilu presiden (pilpres), legislatif (pileg) di tahun yang sama. Jadi euforia dari pemilihan itu ada di pemilu presiden,” kata Asrinaldi.
Dengan demikian, kata dia, euforia yang sudah tinggi di pilpres membuat masyarakat jadi tidak terlalu bersemangat untuk pilkada. Sebab, masyarakat merasa tidak ada yang istimewa, termasuk di dalam Pilkada Jakarta.
“Sehingga mau tidak mau ini berdampak pada turunnya angka partisipasi. Tentu ini juga perlu di pertimbangkan nantinya. Keserentakan itu kan ada enam model yang dipilihkan oleh MK. Jadi ini perlu dipikirkan bagaimana membuat keserentakan ini, karena ini perintah undang-undang,” kata dia.
Komisi A DPRD DKI: Rendahnya Partisipasi Pemilih karena Kurangnya Inovasi KPU
Adapun Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta menyatakan partisipasi pemilih di pilkada sangat rendah karena banyak anak muda yang tidak menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 27 November lalu. Komisi A menyampaikan hal itu dalam rapat koordinasi dengan KPU Jakarta.
“Banyak anak muda yang tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara. Beberapa hal yang bisa menjadi masukan ke KPU agar anak muda bisa hadir. KPU ke depannya bisa memberikan inovasi,” kata Koordinator Komisi A DPRD DKI Jakarta Ima Mahdiah lewat keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Jumat, 6 Desember 2024.
Ima menilai rendahnya partisipasi pemilih ini karena kurangnya inovasi KPU. Apalagi, pemilih di Jakarta saat ini didominasi oleh anak muda. “Contohnya, di TPS ada yang menyediakan makanan untuk para pemilih,” kata Ima.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Mohamad Ongen Sangaji mencatat tingkat partisipasi pemilih di pilkada Jakarta 2024 tidak mencapai 60 persen dari total pemilih. “Ada 267 kelurahan di DKI Jakarta, bentuk sosialisasinya bagaimana, karena tingkat partisipasi masyarakat tidak mencapai 60 persen,” kata Ongen.
Alif Ilham Fajriadi dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Istana Jawab Isu Adi Hidayat Gantikan Posisi Miftah Maulana