Nettyhera
Politik | 2025-08-11 09:41:31

Oleh: Nettyhera, Pengamat Kebijakan Publik
Akhir-akhir ini, publik dibuat tergelitik sekaligus miris dengan maraknya istilah baru di pusat-pusat perbelanjaan: Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Fenomena ini menggambarkan kondisi di mana pusat perbelanjaan, khususnya mal, tampak ramai pengunjung, namun omzet para tenant justru merosot drastis karena sebagian besar pengunjung hanya melihat-lihat, bertanya-tanya, atau sekadar nongkrong tanpa belanja.
Fenomena ini bukan sekadar tren sosial, tetapi gejala dari masalah ekonomi yang lebih dalam. Kondisi ini menjadi alarm bahwa daya beli masyarakat tengah berada di titik nadir. Jika pemerintah dan pengambil kebijakan hanya menganggap ini sebagai masalah temporer tanpa menyentuh akar persoalan, maka krisis ekonomi rakyat akan terus berulang dalam bentuk-bentuk lain yang lebih kompleks.
Rojali-Rohana: Antara Hiburan Gratis dan Krisis Konsumsi
Sejumlah mal di Bandung dilaporkan mengalami tekanan berat akibat fenomena ini. Data dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bandung menyebutkan bahwa sedikitnya 23 mal menghadapi penurunan omzet signifikan hingga terancam gulung tikar (Metrotvnews.com, 25 Juli 2025). Meski ramai pengunjung, transaksi yang terjadi sangat minim.
Menurut INDEF (Institut for Development of Economics and Finance), gejala ini tidak hanya terjadi di pusat perbelanjaan offline, tetapi juga merambah e-commerce, di mana banyak pengguna hanya memasukkan produk ke keranjang tanpa menyelesaikan transaksi (Republika.co.id, 24 Juli 2025). Hal ini memperkuat dugaan bahwa akar persoalan terletak pada melemahnya daya beli masyarakat.
Bank Indonesia pun mengakui bahwa indikator ekonomi makro seperti inflasi yang tinggi, nilai tukar rupiah yang melemah, dan ketidakpastian global menjadi pemicu utama lemahnya konsumsi domestik. Sementara pemerintah sendiri masih mengandalkan solusi jangka pendek seperti diskon, event tematik, dan promosi, padahal yang dibutuhkan rakyat adalah solusi sistemik yang menyentuh hulu masalah.
Islam Jalan Menuju Kesejahteraan
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang terus menekankan pertumbuhan ekonomi berbasis konsumsi, Islam menawarkan sistem ekonomi yang bertumpu pada keadilan distribusi dan pemenuhan kebutuhan pokok seluruh individu. Dalam Islam, negara tidak sekadar menjadi wasit pasar, melainkan bertindak sebagai pengurus langsung urusan rakyat. Prinsip ini tercermin dari sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipeliharanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, negara berkewajiban memastikan bahwa tidak ada satu pun rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, kita menemukan berbagai contoh nyata bagaimana negara Islam benar-benar menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ditemukan lagi mustahiq zakat karena semua rakyat telah tercukupi kebutuhannya. Hal ini bukan semata karena zakat, tetapi juga karena sistem ekonomi Islam melarang penumpukan kekayaan, menetapkan batas kepemilikan, dan memastikan sumber daya publik dikelola negara untuk kemaslahatan umat.
Sistem ekonomi Islam tidak menjadikan pajak sebagai tumpuan utama pendapatan negara. Sebaliknya, Islam memiliki sumber pemasukan tetap yang adil dan terarah seperti pengelolaan sumber daya alam, harta fa’i, ghanimah, kharaj, dan jizyah. Dengan ini, rakyat tidak dibebani pajak konsumsi yang mencekik seperti dalam sistem kapitalis. Islam juga melarang praktik riba yang menjadi akar ketimpangan dan krisis finansial.
Yang tak kalah penting, Islam menjadikan kepemilikan umum sebagai milik rakyat. Air, energi, hutan, tambang, dan kekayaan alam strategis dikelola negara untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Tidak seperti saat ini, di mana kekayaan tersebut dikuasai korporasi besar melalui skema privatisasi yang sah secara hukum tapi dzalim secara realitas. Maka wajar jika dalam sistem sekarang, rakyat hanya bisa melihat etalase mal tanpa mampu membeli isi dalamnya. Sebab, sistem telah gagal menjamin penghidupan yang layak.
Distribusi kekayaan dalam sistem Islam bukan slogan, melainkan mekanisme nyata. Setiap orang dijamin memperoleh hak-haknya tanpa diskriminasi. Negara mendirikan baitul mal (perbendaharaan negara) yang menjadi instrumen utama dalam mengatur aliran kekayaan. Ketika ada wilayah yang mengalami kesulitan ekonomi, maka wilayah lain yang lebih kuat secara fiskal akan mengulurkan bantuan melalui mekanisme ini. Semua berlangsung dalam kerangka tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Penutup
Fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar sindiran sosial, melainkan cermin nyata dari ketimpangan ekonomi dan lemahnya daya beli rakyat akibat sistem ekonomi yang tidak berpihak pada mereka. Jika sistem kapitalisme terus dipertahankan, maka rakyat akan terus terjebak dalam lingkaran krisis. Mereka akan terus dibujuk dengan gimmick konsumsi, festival diskon, dan pameran sale, padahal kantong mereka kian kosong.
Sudah waktunya kita menoleh pada sistem alternatif yang telah terbukti mensejahterakan umat manusia selama berabad-abad. Sistem ekonomi Islam bukan sekadar teori, tetapi telah menjadi realitas hidup di bawah naungan khilafah. Ia meniscayakan pengelolaan kekayaan yang adil, penghapusan eksploitasi, serta tanggung jawab penuh negara terhadap rakyat.
Jika kesejahteraan benar-benar ingin diraih, maka beralih kepada sistem terbaik adalah keniscayaan. Kita tidak bisa berharap solusi permanen dari sistem yang cacat sejak lahir. Islam dengan sistem ekonomi yang kaffah adalah solusi ideologis yang telah lama ditinggalkan, namun justru paling relevan untuk menyelesaikan masalah hari ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.