TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai kalangan mengusulkan agar Polri mengevaluasi penggunaan senjata api agar tidak disalahgunakan oleh anggotanya. Usulan itu muncul setelah adanya kasus polisi menembak polisi di Solok Selatan pada 21 November 2024. Pada saat itu, Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar menembak Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil Anshar. Ryanto meninggal dalam penembakan itu.
Kasus berikutnya yang mendapat sorotan publik adalah Salah satunya adalah penembakan tiga siswa SMKN 4 Semarang oleh anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Semarang, Aipda Robig Zaenudin, pada Ahad, 24 November 2024. Peristiwa ini membuat seorang siswa bernama Gamma Rizkynata Oktavandy tewas, sementara dua temannya mengalami luka-luka.
Berbagai kalangan kemudian mendesak agar Polri memperketat prosedur penggunaan senjata api.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid: Evaluasi Penggunaan Senjata Api Polri Harus Sesuai dengan HAM
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid meminta agar berbagai desakan untuk mengevaluasi penggunaan senjata api oleh Polri harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.
Usman mengatakan Polri juga perlu mempertanggungjawabkan kebijakan penggunaan kekuatan maupun senjata api sesuai hukum yang berlaku, termasuk bagi siapa pun yang terlibat pidana melalui sistem peradilan umum berdasarkan bukti yang cukup. Meski demikian, penegakan hukum harus tanpa hukuman mati.
“Sehingga (penggunaan kekuatan) hanya digunakan dalam situasi yang benar-benar diperlukan,” kata Usman di Jakarta pada Senin, 9 Desember 2024.
Dia meminta DPR RI menggunakan hak-hak konstitusionalnya berupa hak angket atau interpelasi demi menyelidiki tanggung jawab kebijakan strategis polisi karena masih ada kasus penyalahgunaan kekuatan yang tidak perlu.
“Mendesak DPR RI memanggil Kapolri guna dimintai tanggung jawab atas maraknya kekerasan polisi di masyarakat, khususnya yang merefleksikan pola kebijakan represif, bukan perilaku orang per orang,” ujarnya.
Usman mengatakan adanya kekerasan terhadap masyarakat oleh aparat adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Maraknya kasus kekerasan, kata dia, juga disebabkan kuatnya persepsi bahwa warga yang mengkritik pemerintah adalah ancaman.
Dia juga mendesak Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Nasional HAM mengusut secara resmi, menyeluruh, efektif, imparsial, terhadap kasus-kasus kekerasan yang timbul. “Dan tuntaskan kasus-kasus penggunaan kekuatan berlebihan, termasuk senjata mematikan,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni: Polri Harus Memperketat SOP Penggunaan Senjata Api
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengatakan Polri harus memperketat SOP dan pengawasan penggunaan senjata api karena maraknya fenomena penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri.
“Kalau polisi sama sekali tidak mengantongi senpi rasanya mustahil. Tingkat kriminal kita masih sangat tinggi dan sadis,” kata Sahroni di Jakarta, Senin.
Dia menuturkan fenomena penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri harus disikapi dengan segera oleh jajaran Polri, terutama dalam meningkatkan pengawasan dan evaluasi penggunaan senjata api. Dia menilai anggota Polri memang masih membutuhkan senpi, mengingat begal, pembunuhan, pencurian, masih marak di mana-mana. Maka polisi, terutama satuan Reskrim, harus tetap memiliki senjata api untuk memberikan efek psikologis kepada para pelaku kriminal di lapangan.
“Yang perlu diperhatikan adalah penggunaannya. Harus diawasi ketat psikologis pemegangnya dan dilakukan skrining ketat secara berkala,” kata dia.
Dengan begitu, menurut Sahroni, nantinya polisi yang membawa senjata api adalah mereka yang stabil secara mental dan profesional dalam bekerja. Namun dia menegaskan tidak semua anggota Polri bisa membawa senjata api, seperti polisi yang bertugas melayani masyarakat.
Anggota Kompolnas Gufron Mabruri: Evaluasi Senjata Api Harus Masuk ke Rencana Strategis Polri
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta agar evaluasi senjata api masuk ke dalam agenda visi rencana strategis Polri untuk 2025-2045. Anggota Kompolnas Gufron Mabruri mengatakan adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam kasus-kasus terkini yang melibatkan oknum anggota Polri menjadi salah satu agenda pembahasan Kompolnas.
“Nanti akan kami rincikan lagi bahan-bahan dokumen laporan yang bisa kami jadikan bahan untuk memperkuat upaya untuk mendorong perbaikan-perbaikan tadi,” kata Gufron saat diskusi dengan Amnesty International Indonesia di Jakarta, Senin.
Menurut dia, penyusunan rencana strategis Polri 2024 perlu menjadi ruang bersama bagi masyarakat sipil menyampaikan catatan kritis, terutama bagaimana memutus keberulangan kasus-kasus kekerasan oleh anggota Polri. “Agar secara sistem ada pelembagaan secara internal, memastikan kultur tadi bisa benar-benar diputus,” kata dia.
Dia mengatakan Polri sudah memiliki SOP dan prinsip-prinsip penggunaan senjata api. Sehingga, yang menjadi permasalahan adalah soal pengetahuan, kontrol pengawasan, hingga akuntabilitas. Ketika suatu kasus pelanggaran terjadi, dia ingin penanganannya tak terlalu berfokus pada kasusnya, tetapi fenomena tersebut harus diselesaikan secara tuntas.
Akuntabilitas dalam penanganan kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri, kata dia, harus transparan. Sanksi yang perlu dijatuhkan pun bukan hanya soal kode etik, tetapi juga sanksi pidana. “Tapi pengawasan internal juga tidak cukup, harus ada pengawasan dari eksternal juga, termasuk media,” katanya.
Kadiv Propam Polri: Aturan Penggunaan Senjata Api oleh Polisi Sudah Jelas
Adapun Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim menanggapi usulan evaluasi penggunaan senjata api bagi polisi. Dia menyebutkan aturan penggunaan senjata api sudah jelas, tetapi masih perlu ada optimalisasi penerapannya di lapangan.
“Aturan yang mengatur penggunaan dan pengelolaan senpi sudah jelas dan tepat, tinggal optimalisasi saja. Semua mekanismenya dilakukan oleh kapolda masing-masing,” kata Abdul Karim dalam keterangannya yang dikutip pada Selasa, 3 Desember 2024.
Peraturan penggunaan senjata api oleh anggota Polri tertuang dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Pasal tersebut menegaskan polisi hanya boleh menggunakan senjata api untuk menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, serta mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang.
Selain itu, senjata api boleh digunakan untuk menahan, mencegah, dan menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa dan untuk menangani situasi yang membahayakan jiwa di mana langkah-langkah yang lebih lunak dinilai tidak cukup.
Ervana Trikarinaputri dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Ragam Respons Soal Rendahnya Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada Jakarta