TEMPO.CO, Jakarta - Najem al-Moussa, pengungsi Suriah, sangat senang ketika berita penggulingan Presiden Bashar al Assad pertama kali disiarkan melalui televisi di apartemennya yang kecil di Athena.
Kemudian muncul pikiran yang menakutkan: bagaimana jika kejatuhan Assad berarti dia dan keluarganya akan dipaksa kembali ke negara yang hancur yang telah mereka tinggalkan sembilan tahun sebelumnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa-peristiwa di Suriah berubah drastis pada Minggu, 8 Desember 2024. Para pemberontak menyerbu Damaskus setelah serangan kilat yang memaksa Assad mengasingkan diri ke Rusia dan meningkatkan harapan akan berakhirnya perang saudara selama 13 tahun yang telah membuat negara itu hancur.
Kini, ketika negara-negara Eropa memikirkan kembali kebijakan suaka mereka untuk warga Suriah dengan melihat perkembangan yang terjadi, banyak yang khawatir mereka harus kembali.
"Saya menganggap hidup saya ada di sini. Bukan hanya saya, tetapi juga anak-anak saya," kata al-Moussa, seorang pengacara yang bekerja sebagai juru masak di Athena dan telah terpaku pada berita televisi selama berhari-hari. "Kehidupan yang disediakan di Yunani, tidak dapat ditawarkan oleh negara saya."
Ratusan ribu orang telah tewas dalam perang Suriah, yang dimulai pada tahun 2011 dan mempertemukan tentara Assad dengan berbagai kelompok pemberontak. Seluruh kota telah diratakan dengan bom. Jutaan orang mengungsi atau membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Ribuan warga sipil yang mengungsi ke negara tetangga, Turki dan Lebanon, bergegas kembali ke Suriah minggu ini, mobil-mobil mereka penuh dengan orang, barang bawaan, dan harapan untuk pulang dengan damai.
Namun, delapan pengungsi Suriah yang berbicara dengan Reuters di Eropa memiliki pemikiran yang berbeda. Kembali ke Suriah berarti mengakhiri kehidupan baru yang telah mereka bangun dengan mempertaruhkan segalanya.
Al-Moussa dan istrinya, Bushra al-Bukaai, melarikan diri dari Damaskus pada tahun 2015 setelah kelahiran anak kedua mereka. Mereka menghabiskan semua yang mereka miliki dalam perjalanan selama dua tahun yang membawa mereka ke Sudan, Iran, Turki, dan akhirnya Yunani.
Mereka sekarang memiliki lima anak yang semuanya bersekolah dan fasih berbahasa Yunani. Tidak ada yang berbicara bahasa Arab dari tanah air orang tua mereka.
"Ketika kami berbicara, mereka bertanya: 'Ayah, bisakah kita kembali tinggal di sini? Bagaimana Ayah tinggal di sana sebelumnya?’," kata Al-Moussa.
Istrinya sependapat. "Saya tidak bisa membayangkan anak-anak saya membangun masa depan mereka di Suriah. Tidak sama sekali." katanya sambil memangku putra bungsu mereka.
Kegembiraan dan keputusasaan
Permohonan suaka pertama kali oleh warga Suriah ke Uni Eropa mencapai angka tertinggi pada 2015 dan 2016 - lebih dari 330.000 pada masing-masing tahun tersebut – sebelum menurun secara signifikan dalam tiga tahun berikutnya, demikian data Uni Eropa menunjukkan. Namun, permohonan suaka meningkat tiga kali lipat antara 2020 dan 2023 setelah gempa bumi dahsyat dan ketika kekerasan dan kesulitan ekonomi terus berlanjut.
Ribuan aplikasi tersebut kini tertahan setelah beberapa negara Eropa termasuk Yunani minggu ini menangguhkan permohonan suaka dari warga Suriah saat mereka mempertimbangkan apakah Suriah lebih aman setelah Assad pergi.
Tidak jelas apakah para pencari suaka akan dipulangkan secara paksa. ProAsyl, sebuah LSM Jerman yang memberikan bantuan hukum kepada para pencari suaka, mengatakan bahwa kasus-kasus tersebut akan terkatung-katung hingga kementerian luar negeri menerbitkan laporan penilaian keamanan terbaru mengenai Suriah, yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Juru bicara ProAsyl, Tareq Alaows, mengatakan kepada Reuters bahwa keputusan tersebut dapat menghadapi tantangan hukum karena pihak berwenang di Eropa harus memutuskan permohonan suaka dalam waktu tiga sampai enam bulan setelah pengajuannya.
Namun, izin tinggal Al-Moussa di Yunani akan segera berakhir dan ia merasa khawatir. Dia tidak sendirian.
Dokter hewan asal Suriah, Hasan Alzagher, sedang mengikuti kelas bahasa Jerman di kota Erfurt pada Senin ketika ia mendengar bahwa permohonan suakanya untuk Jerman, yang ia harapkan akan selesai pada akhir tahun ini, ditunda.
"Ini sangat menghancurkan secara mental. Sulit rasanya setelah Anda memutuskan untuk tinggal di sini, membangun kehidupan baru di sini, belajar bahasa dan berintegrasi di negara ini, sekarang Anda harus kembali ke tanah air Anda di mana kebutuhan dasar masih belum terpenuhi," katanya kepada Reuters melalui telepon.
Karena takut direkrut menjadi tentara atau kelompok milisi, Alzagher, 32 tahun, mengatakan dia melarikan diri dari kota Raqqa pada 2018. Dia menghabiskan waktu di Lebanon, Irak dan Turki sebelum menuju ke Jerman pada 2023.
"Jatuhnya Assad adalah sukacita besar bagi semua warga Suriah, tetapi kami yang datang ke sini dan berutang untuk membiayai perjalanan ini, setiap kali kami tiba di tempat yang baru, kami harus memulai dari awal lagi. Sulit untuk memikirkan kembali ke Suriah sekarang."