Terkenang Perjalanan Jurnalistik Gara-gara #Reset Indonesia

3 hours ago 10
Farid Gaban dan kawan-kawan menerebitkan buku #Reset Indonesia. Buku kumpulan esai hasil perjalanan jurnalistik keliling Indonesia. Sumber:priyantono oemar

Saya kecanduan tulisan-tulisan Farif Gaban setelah membaca kolomnya, "Solilokui", di Republika. Saya juga sangat terkesan dengan laporan perjalanan jurnalistik Farid Gaban di Sarajevo dan kali ini terkesan pula dengan #Reset Indonesia, kumpulan esai-esai dari perjalanannya keliling Indonesia, yang pre-ordernya laku 2.500 eksemplar.

Saya sangat senang ketika kegiatan kami di Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) pada awal 1995, ditulis oleh Farid Gaban berdasarkan laporan Nashini Masha, yang saat itu menjadi kepala Biro Republika Bandung.

Di tangan Farid Gaban, laporan jurnalistik itu menjadi sangat bertenaga. Rendra enggan tampil karena empat puisinya dilarang polisi untuk dibacakan. Tangan rezim masih berkuasa menentukan hal yang boleh dan tidak boleh.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Saat itu kami mengundang Rendra untuk baca puisi di GOR Saparua, dengan honor bibit pohon buah-buahan dan ayam kampung. Kami terhenyak ketika Rendra hanya meminta honor berupa bibit buah langka dan ayam kampung.

Berpuluh tahun kemudian, saya memahami betapa berharganya bibit pohon dan ayam kampung. Sewaktu mengikuti Ekspedisi Khatulistiwa di Kalimantan pada 2012, saya mendapati betapa susahnya mendapatkan ayam kampung di masyarakat Baduy.

Dibeli pun, mereka menolak, karena ayam kampung akan mereka sembelih pada saat mereka mengadakan upacara adat. Di upacara adat itu, kami tak perlu membeli ayam kepada mereka, karena kami dapat menikmatinya dengan gratis, bahkan mendapat kehormatan untuk menyembelihnya secara Islam.

Mereka tidak ingin kami menikmati daiging ayam yang disembelih tidak secara Islami. Ini satu bentuk toleransi.

Mereka bilang, agama mereka, Kaharingan, hmengajarkan tidak menyuguhkan makanan yang tidak halal kepada Muslim. Pada upacara-upacara adat, mereka akan menyembelihyam dan babi hutan, dan tentu saja babi hutan tidak disuguhkan kepada tamu-tamu yang Muslim.

Tentang pohon? Hutan bagi masyarakat adat di Indonesia adalah ibu. Mereka akan menjaga hutan, karena hutanlah yang menyediakan bahan makanan untuk mereka.

Di Maluku, sekadar untuk mengambil daun sagu saja, mereka memiliki aturan adat. Demikian pula untuk memanen pala di Maluku dan Papua, mereka juga memiliki aturan adat.

Membaca esai-esai di buku #Reset Indonesia membuat saya terkenang dengan perjalanan jurnalistik saya dari Aceh hingga Papua. Bertemu dengan masyarakat adat dengan segala persoalannya.

Tadinya hanya Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, yang belum saya singgahi. Namun, gara-gara Tanah Papua dipecah menjadi banyak provinsi, maka ada Papua Tengah dan Papua Pegunungan juga belum saya singgahi.

Saya iri dengan Farid Gaban dan kawan-kawan yang setelah berkeliling Indonesia dengan sepeda motor. Lalu mereka menuangkannya ke dalam buku #Reset Indonesia itu dalam bentuk esai dan laporan jurnalistik.

Pengalaman saya dibonceng sepeda motor hanya dari Paloh di ujung barat Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, hingga ke Entikong di ujung timur Kalimantan Barat, yang juga masih berbatasan dengan Malaysia. Saat itu, saya bersama fotografer menyusuri perbatsan Indonesia-Malaysia selama dua pekan.

Saat mengikuti Ekspedisi Khatulistiwa selama tiga bulan di Kalimantan pada 2012 dan Ekspedisi NKRI di Sulawesi pada 2013, kendaraan yang digunakan adalah truk tentara. Saat ikut Ekspedisi Mangrove di Papua, harus menggunakan perahu pinisi, menyusuri perairan barat Papua.

Dari perjalanan itu, saya menyaksikan betapa makanan kemasan sudah masuk ke berbagai pelosok, termasuk di pelosok Kalimantan, Sulawesi, Papua. Sampah plastik ada di mana-mana, termasuk di perkampungan di tengah hutan.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |