INFO NASIONAL – Dalam dua dasawarsa terakhir, tren ketimpangan ekonomi antara wilayah desa dan kota masih terus berlangsung. Ketimpangan antara desa dan kota merupakan masalah yang cukup pelik karena dampaknya yang menghambat pembangunan yang merata di Indonesia. Faktor penyebab terjadinya ketimpangan ini juga beragam, mulai dari kondisi geografis, ketersediaan infrastruktur, penguasaan lahan, dan kondisi penduduk.
Kajian dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (2017) menunjukkan kecenderungan tingkat kesejahteraan masyarakat di perdesaan yang lebih rendah dari mereka yang tinggal di kota. Padahal, perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menurut sila kelima Pancasila, adalah tujuan akhir dari pembangunan di Indonesia.
Dilema Otonomi Daerah
Salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan pemerataan pembangunan antara desa dan kota adalah melalui otonomi daerah. Namun demikian, otonomi daerah dan perbaikan keadilan tampaknya belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Sebaliknya, kajian dari INDEF (2018) justru mengungkapkan fakta yang berkebalikan. Setelah otonomi daerah, penurunan ketimpangan antara desa dan kota di Indonesia berjalan lamban.
Meskipun pemerintah pusat telah memgimplementasikan berbagai kebijakan untuk mengatasinya, seperti misalnya pembangunan infrastruktur, pemberdayaan melalui bantuan sosial dan subsidi berbasis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), pembiayaan koperasi dan UMKM, peningkatan akses pendidikan tinggi, serta stabilisasi harga pangan - akan tetapi, upaya ini belum sepenuhnya optimal. Hal ini juga dikarenakan belum adanya pendekatan yang secara khusus menyesuaikan pada kondisi masing-masing daerah, terutama di kabupaten.
Konsekuensinya, beban peningkatan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat semata-mata diletakkan pada pemerintah daerah karena dianggap sebagai ‘pemilik wilayah’ sedangkan kondisi daerah tentu sangat beragam dengan segala tantangannya.
Pemerintah daerah seringkali menghadapi dilema. Di satu sisi otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap kabupaten untuk mengurus dan memaksimalkan pendapatan daerahnya, namun di sisi lain kondisi fiskal yang kadang terbatas menjadi hambatan untuk melakukan berbagai upaya kebijakan. Terlebih lagi, pemerintah daerah menjadi entitas yang paling disalahkan ketika sebuah daerah dianggap tidak mampu mengembangkan ekonominya.
Daya Upaya Pemerintah Kabupaten dan Kreasi Kebijakan Daerah
Di tengah kondisi yang dilematis ini, kasus Trenggalek dapat memberikan kita pemahaman yang penting dalam hal menata ulang koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Salah satu hal yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Trenggalek untuk mendongkrak produktivitas ekonomi masyarakatnya terutama kaum muda ialah dengan meningkatkan akses warga pada pendidikan tinggi yang terjangkau baik secara jarak dan biaya. Pemerintah Kabupaten misalnya bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk mendirikan kampus di wilayahnya. Penambahan jumlah kampus memang menjadi pendorong utama yang bermanfaat dalam perbaikan ketimpangan antara desa dan kota.
Pada kenyataannya, ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena membangun sebuah kampus tentu memerlukan sebuah tekad yang kuat dari pemerintah daerah karena proses panjang yang harus dilalui. Pembangunan perguruan tinggi itu bukan hanya soal prestise, melainkan pekerjaan besar dan peletakan tonggak awal bagi pertumbuhan sebuah peradaban yang nanti berdampak pada kemunculan pusat-pusat ekonomi, sosial, serta budaya baru. Sekalipun ini adalah hal yang tidak mudah, kesadaran pemerintah kabupaten akan pentingnya perguruan tinggi ini dipegang sebagai komitmen pemerintahnya untuk mendorong percepatan transformasi sumber daya manusia. Ini dilakukan pemerintah dengan memberikan hibah tanah yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pendirian kampus.
Dengan segala sumber daya daerah yang dimiliki, apa yang dilakukan pemerintah Kabupaten Trenggalek dapat menjadi contoh dari bagaimana praktik baik mengatasi ketimpangan antara desa dan kota dengan tidak melupakan fokus pada sektor yang nantinya memiliki efek domino pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dan bukan hanya dalam kurun waktu yang singkat saja mengikuti periode kepemimpinan dari bupati dan wakil bupati. Tetapi lebih dari itu, pertimbangan pembangunan yang inklusif, berdampak luas, dan berkelanjutan juga seringkali diabaikan karena alasan keterbatasan periode kepemimpinan serta alasan-alasan elektoral.
Penguatan Kerja Kolaboratif Pemerintah Pusat dan Daerah
Pada konteks ini, pemerintah kabupaten dengan inisiatif yang berbasiskan pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) memerlukan dukungan yang kuat dan aktif dari pemerintah pusat dengan pendekatan partisipatoris dan berbasis pada kondisi daerah masing-masing.
Salah satu upaya terdekat yang dapat ditempuh ialah memaksimalkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara proporsional dan terukur, semisal ini dilakukan berdasarkan capaian pembangunan berkelanjutan. DAK terutama memiliki korelasi negatif dengan ketimpangan. Artinya, jumlah DAK yang diberikan pada daerah dapat menurunkan tingkat ketimpangan yang ada di wilayah tersebut. Formulasi DAU dan ketentuan yang menyertainya harus dioptimalkan dengan tujuan meningkatkan akses pelayanan publik.
Ketimpangan hanya dapat diturunkan bila pemerintah pusat juga mendukung dan mempertahankan dan meningkatkan kebijakan dana alokasi khusus untuk mendukung program prioritas nasional. Ke depan, pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kegiatan ekonomi produktif harus ditingkatkan dengan lebih optimal melalui DAU dan DAK.
Perihal lain yang perlu diperhatikan ialah degree of revenue, yakni pendapatan daerah harus secara cermat diarahkan untuk pertumbuhan yang merata. Sebuah daerah yang memiliki porsi PAD yang relatif besar cenderung didominasi oleh industri ekstraktif dan manufaktur. Seringkali pembagian kue ekonomi hanya terkonsentasi pada kelompok-kelompok kaya atau elit lokal.
Pemerintah Kabupaten Trenggalek setidaknya menunjukkan keberpihakan pada perekonomian yang merata melalui sektor pariwisata yang juga menumbuhkan banyak UMKM lokal. Ketika pemerintah daerah telah melaksanakan tugasnya untuk pemerataan ekonomi, maka usaha ini harus terus didukung pemerintah pusat. Bila pun nantinya terdapat rencana pengembangan industri ekstraktif atau manufaktur di sebuah daerah, maka aspirasi pemerintah daerah yang wajib memetakan kemerataan kue ekonomi haruslah dipertimbangkan dan menjadi prioritas bagi pemerintah pusat.
Selain itu, degree of expenditure menandakan peran dan kemampuan pemerintah kabupaten dalam hal memberikan pelayanan publik seperti pendidikan dasar dan kesehatan juga menjadi tolak ukur pemerataan kualitas hidup yang lebih baik bagi warga. Apalagi belanja pelayanan pendidikan serta penyediaan infrastruktur di sektor ini juga berkontribusi positif pada pengurangan ketimpangan. Senada dengan hal ini, pemerintah daerah yang mampu meningkatkan kualitas belanja pendidikan dengan meningkatkan hasil metrik pendidikan seperti Angka Partisipasi Murni (APM) juga layak untuk diberikan penghargaan. (*)
*Penulis: Febby R. Widjayanto - Dosen FISIP Universitas Airlangga