TEMPO.CO, Jakarta - Hasil Survei Persepsi Petani 2024 yang dilakukan terhadap 304 petani di seluruh Indonesia mengungkapkan kondisi pertanian yang semakin memprihatinkan. Survei ini dilaksanakan pada 10-20 September 2024 oleh LaporIklim, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Tani dan Nelayan Center (TNC), serta Gerakan Petani Nusantara (GPN).
1. Petani Sulit Akses Perbaikan Irigasi
Temuan tersebut menegaskan bahwa para petani semakin pesimis melihat masa depan sektor pertanian, terutama karena masalah agraria yang tak kunjung terselesaikan, lahan garapan yang semakin sempit, dan kedaulatan pangan yang terasa kian jauh dari jangkauan.
Kepala Tani dan Nelayan Center, Hermanu Triwidodo, menjelaskan bahwa survei ini menunjukkan betapa akses petani terhadap sumber daya pertanian masih sangat terbatas. Sebanyak 30,6 persen petani melaporkan tidak ada perbaikan dalam akses irigasi.
Selain itu, 35,9 persen petani mengaku kesulitan mendapatkan pupuk, sementara 43,8 persen mengatakan mereka tidak memiliki akses permodalan yang memadai. Tak hanya itu, hampir separuh responden, tepatnya 47 persen, merasa lahan yang mereka garap tidak cukup untuk menunjang produktivitas.
2. Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia
Menurut Hermanu, data ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah dalam memperbaiki akses ke sumber daya produksi masih jauh dari memadai. Dibandingkan survei serupa pada 2018, kondisi akses irigasi, pupuk, permodalan, dan lahan justru memburuk atau stagnan. Ini menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, persoalan mendasar dalam sektor pertanian belum teratasi.
Survei tersebut bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober. Tema tahun ini, "Right to Foods for a Better Life and a Better Future," selaras dengan isu-isu yang diangkat dalam survei. Krisis iklim dan kebijakan agraria yang tidak berpihak semakin menyulitkan petani untuk mendapatkan lahan dan sumber daya. Situasi ini tentu berdampak langsung pada kinerja produksi pangan nasional.
3. Program Pemerintah Belum Efektif
Hasil survei juga menyoroti bahwa 53 persen petani merasa program-program pemerintah belum mampu meningkatkan hasil panen mereka. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya perhatian terhadap ketersediaan pupuk organik dan benih unggul, dua faktor penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Iklan
Sebanyak 51,6 persen petani mengaku tidak pernah menerima pupuk organik dari pemerintah, sementara hampir separuh responden juga mengatakan tidak mendapatkan bantuan benih unggul sama sekali.
Hermanu menambahkan bahwa mayoritas petani, sekitar 76 persen, masih menggunakan benih buatan sendiri yang kualitasnya belum tentu terjamin. Hal ini meningkatkan risiko penurunan produktivitas dan bahkan gagal panen. Selain itu, minimnya penyuluhan dari pemerintah selama sepuluh tahun terakhir turut memperburuk situasi, sebagaimana dikeluhkan oleh 45,1 persen responden.
4. Petani Tidak Dilibatkan Proses Perumusan Kebijakan
Banyak petani merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Sekitar 46,4 persen mengaku tidak pernah diajak berdialog oleh perangkat desa, pemerintah daerah, atau dinas terkait. Kondisi ini juga terlihat dalam penentuan harga gabah. Sebanyak 45,4 persen petani menyatakan bahwa harga gabah yang ditetapkan pemerintah tidak menguntungkan. Partisipasi petani dalam menentukan kebijakan harga juga masih minim, dengan hanya 36,2 persen yang merasa dilibatkan.
Hermanu menilai bahwa salah satu akar masalahnya terletak pada kegagalan pemerintah dalam menerjemahkan konsep kedaulatan pangan ke dalam kebijakan yang tepat. Berbagai program yang dijalankan selama ini dinilai tidak menjawab kebutuhan riil petani atau bahkan melenceng dari tujuan awal.
5. Penurunan Produksi Padi
Situasi semakin diperburuk oleh penurunan produksi padi nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi pada 2023 tercatat sebesar 10,21 juta hektare, turun 238.970 hektare atau 2,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk juga mengalami penurunan sebesar 1,39 persen, dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,10 juta ton pada 2023.
Penurunan produksi ini menjadi sinyal kuat bahwa sektor pertanian sedang berada dalam tekanan serius. Di tengah kondisi yang semakin sulit, para petani mendesak pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan meningkatkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Hermanu menegaskan bahwa jika pemerintah tidak segera berbenah, cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan akan semakin sulit dicapai.
ANTARA
Pilihan editor: Prabowo Akan Terbitkan Perpres untuk Putihkan Utang Petani dan Nelayan