TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan penggeledahan rumah Sekretaris Jenderal PDIP dilakukan sesuai prosedur penyidikan. Tessa mengatakan hal itu menjawab pertanyaan soal baru digeledahnya rumah Hasto Kristiyanto setelah dua pekan penetapan tersangka.
“Tentunya penyidik memiliki kebutuhan dalam mencari alat bukti,” kata Tessa dalam jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 7 Desember 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengatakan penyidik pasti memiliki pertimbangan tersendiri ketika menggelar penggeledahan. Tessa juga menyangkal penggeledahan rumah Hasto berkaitan dengan mangkirnya Sekjen PDIP itu dari pemeriksaan KPK. Sedianya Hasto akan menjalani pemeriksaan pada Senin kemarin.
Lebih lanjut, Tessa mengatakan belum bisa memberitahukan bukti yang sedang dikejar penyidik. “Belum bisa dibuka saat ini. Kalau kami sampaikan saat ini bisa-bisa buktinya menghilang atau dihancurkan,” ujar Tessa.
Sebelumnya, KPK menggeledah kediaman Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto di Jalan Asri 7, Taman Villa Kartini, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi, pada Selasa, 7 Januari 2024. Berdasarkan informasi yang didapat dari salah satu anggota polisi, tim Kedeputian Penindakan KPK mulai melakukan penggeledahan sekitar pukul 14.45 WIB. Selain itu, ada tujuh mobil nampak berbaris di halaman depan rumah Sekjen PDIP itu. Tujuh mobil yang berada di halaman rumah Hasto itu diduga merupakan milik tim penyidik KPK.
KPK mengumumkan penetapan Hasto pada Selasa siang, 24 Desember 2024. Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang melibatkan politikus PDIP, Harun Masiku, terhadap Komisioner KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan Hasto memiliki peran vital dalam kasus suap tersebut. Dia diduga membantu pelarian Harun Masiku. Harun adalah kader PDIP yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Hingga kini Harun masih menjadi buronan.
Berdasarkan penyidikan KPK, menurut Setyo, Hasto berperan mulai dari menyediakan uang suap. KPK menemukan sumber uang suap tersebut dari Hasto. "Uang suap sebagian dari HK, itu dari hasil yang sudah kami dapatkan saat ini," kata Setyo.
Kasus suap Harun Masiku terhadap Wahyu Setiawan ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Wahyu dan beberapa kader PDIP pada 8 Januari 2020. Wahyu diduga menerima suap untuk memuluskan proses penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 dari PDIP di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1.
Proses PAW itu berawal ketika calon legislator PDIP dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan pada Pemilu 2019. Nazarudin merupakan caleg PDIP dengan perolehan suara terbanyak di dapil itu di Pemilu 2019. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu, pengganti caleg meninggal atau alasan lain adalah calon legislator peraih suara terbanyak berikutnya di dapil bersangkutan, yaitu Riezky Aprilia.
Namun, PDIP meminta KPU menggantinya dengan calon pilihan partai, yaitu Harun Masiku. Harun adalah peraih suara urutan kelima di Dapil Sumatera Selatan 1 pada Pemilu 2019. Untuk memuluskannya, pihak PDIP lantas melobi komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan.
Permohonan PDIP itu berakhir kandas pada 7 Januari 2020. Tapi uang dugaan suap untuk memuluskan proses PAW sudah diberikan kepada Wahyu Setiawan. Setelah memastikan aliran uang, KPK menangkap Wahyu dan kader PDIP Saeful Bahri.
KPK juga hendak menangkap Harun Masiku dalam operasi penangkapan tersebut. Tapi Harun Masiku kabur ke arah kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia pun menghilang di kampus kepolisian tersebut. Hingga saat ini, Harun Masiku berstatus sebagai buronan KPK.