TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman mengatakan norma di Pasal 36 a Undang-Undang KPK sudah tepat. Pasal itu, diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata. “Norma di dalam Undang-Undang KPK ini lebih melindungi KPK dari potensi penyalahgunaan kekuasaan,” katanya saat dikonfirmasi pada Sabtu, 9 November 2024
Zaenur melihat, norma di dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK itu tepat. Alasannya, karena KPK dengan kewenangan yang sangat besar rawan untuk disalahgunakan. Misalnya, dengan bertemu dengan pihak-pihak berperkara dengan tujuan untuk menguntungkan pihak yang berperkara.
Namun, ia tidak menutup fakta bahwa norma itu ada pengecualian. Pengecualian dalam kepentingan dinas secara resmi. Sebagai contoh, ketika seorang insan KPK baik itu seorang pimpinan maupun pegawai KPK bertemu dengan pihak yang berperkara untuk memberikan surat panggilan, melakukan pemeriksaan atau urusan-urusan kedinasan lain.
Menurut Zaenur, pimpinan dan pegawai KPK berisiko bertemu dengan pihak berperkara jika di luar urusan kedinasan. Pertemuan yang sifatnya tanpa sengaja, tentu tidak terjerat dengan Pasal 36 UU KPK, misalnya di acara keundangan yang bersifat publik, tidak direncanakan dan tidak disengaja.
Karena itu, standar KPK jauh lebih ketat termasuk melarang pihak-pihak pegawai maupun pimpinan KPK untuk bertemu dengan pihak yang berperkara. KPK berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya. “KPK itu lembaga yang bersifat khusus, norma-normanya juga khusus, dia berbeda dengan kepolisian, dengan kejaksaan,” katanya.
Alaxander Marwata anggap pasal 36 huruf a UU KPK multitafsir
Alexander Marwata mengajukan judicial review Pasal 36 a Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, setelah dirinya dilaporkan ke Polda Metro Jaya soal pertemuan dengan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Pertemuan itu terjadi pada 9 Maret 2023, setelah Eko menjadi sorotan karena memamerkan harta kekayaannya di media sosial. KPK kemudian menetapkan Eko sebagai tersangka kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada April 2024.
Polda Metro Jaya telah memeriksa puluhan saksi, termasuk Alexander Marwata dan Eko Darmanto dalam tahap penyelidikan. Pada akhir bulan lalu, polisi menyatakan akan segera melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus ini layak naik ke penyidikan atau tidak.
Menurut Alexander Marwata, pasal 36 huruf a UU KPK tersebut multitafsir. Menurut dia, ada ketidakjelasan frasa ‘pihak lain’ serta arti frasa ‘dengan alasan apa pun’. Alex juga mempertanyakan tidak adanya standar batasan tahapan perkara yang dipaparkan dalam beleid ini.
Berikut adalah bunyi lengkap pasal 36 huruf a tersebut:
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
“Pihak lain itu siapa? Batasan perkara itu ditahap apa? Dengan alasan apa pun itu apa maknanya?” ujar Alex saat dikonfirmasi pada Kamis, 7 November 2024.
Alex menyatakan pemaknaan pasal itu harus jelas. Jika tidak jelas, menurut dia, penerapannya pun akan semau-maunya. Makna frasa ‘Pihak lain’ misalnya, menurut dia, frasa itu bermakna pihak yang ada hubungannya dengan tersangka, seperti rekan kerja, atasan, sopir, dan keluarga pihak yang tengah berperkara.
“Tapi kalau dimaknai terpisah bisa juga sepanjang ada hubungannya dengan perkara,” katanya.
Selain itu, Alex juga menyatakan meminta agar MK memperjelas makna kata ‘Perkara’ dalam pasal itu. Dia menyatakan perlu ada penjelasan pada tahap mana sebuah peristiwa itu dianggap sebagai perkara seperti dalam pasal tersebut.
“Apakah laporan masyarakat yang bahkan belum penyelidikan juga dianggap perkara? Jangankan menyebutkan tersangkanya, peristiwa pidana korupsinya pun belum jelas,” katanya.
Alex juga menyatakan frasa ‘Dengan alasan apa pun’, memiliki makna yang terlalu luas. Alex menyatakan frasa itu tak mengecualikan pertemuan dalam rangka melaksanakan tugas dan dalam kondisi tidak mengetahui status orang yang ditemui.
“Kalau tanpa pengecualian, berarti bertemu di kondangan pun bermasalah. Sekali pun tidak ada hal penting yang dibahas,” ujarnya.
Kuasa Hukum Alex, Abdul Hakim, menyebut pasal 36 huruf a berpeluang digunakan untuk mengriminalisasi pimpinan KPK. Pertama, pasal tersebut, tidak memberikan kepastian hukum terhadap Komisioner KPK. Kedua, ada diskrimisasi terhadap instansi KPK karena hanya lembaga KPK yang mendapat pembatasan.
“Sedangkan penegak hukum lain seperti jaksa dan kepolisian tidak batasan apa pun. Kami ingin menyampaikan kalau ingin dibatasi penegak hukum, kepolisian, jaksa, harus dibatasi karena mereka kurang lebih sama tupoksinya dengan KPK,” ucap Abdul kepada Tempo, Kamis, 07 November 2024.