MENJELANG turun kekuasaan, Presiden Joe Biden, menurut seorang pejabat AS, Jumat, 3 Januari 2025, berencana untuk menjual senjata ke Israel senilai US$8 miliar (atau sekitar Rp130 triliun), seperti dikutip The New Arab. Rencana ini tinggal menunggu persetujuan komite-komite Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, yang kemungkinan besar diperoleh.
Kesepakatan ini akan mencakup amunisi untuk jet-jet tempur dan helikopter tempur serta peluru-peluru artileri. Paket ini juga mencakup bom berdiameter kecil dan hulu ledak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Departemen Luar Negeri AS tidak menanggapi permintaan komentar menyusul laporan situs web AS, Axios.
Tuntutan Embargo Senjata
Para pengunjuk rasa telah berbulan-bulan menuntut embargo senjata terhadap Israel, namun kebijakan AS sebagian besar tidak berubah. Pada Agustus, Amerika Serikat menyetujui penjualan jet tempur dan peralatan militer lainnya senilai 20 miliar dolar AS kepada Israel.
Pemerintahan Biden mengatakan bahwa mereka membantu sekutunya untuk mempertahankan diri dari kelompok-kelompok militan yang didukung Iran seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan Houthi di Yaman.
Terlepas dari kritik internasional, Washington telah mendukung Israel selama serangannya ke Gaza yang telah membuat hampir seluruh penduduk Gaza yang berjumlah 2,3 juta orang mengungsi, menyebabkan krisis kelaparan dan menimbulkan tuduhan genosida dari sejumlah ahli, PBB, dan para pemimpin dunia.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan setidaknya 45.854 orang telah terbunuh, dan banyak lagi yang dikhawatirkan terkubur di bawah reruntuhan.
Upaya diplomatik sejauh ini gagal mengakhiri perang Israel di Gaza yang telah berlangsung lebih dari satu tahun, sejak 7 Oktober 2023.
Washington, sekutu dan pemasok senjata terbesar Israel, sebelumnya juga telah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai gencatan senjata di Gaza.
Biden dari Partai Demokrat akan meninggalkan jabatannya pada 20 Januari, ketika Presiden terpilih dari Partai Republik Donald Trump akan menggantikannya. Namun, Israel tampaknya tak perlu mencemaskan pergantian kekuasaan tersebut karena Biden dan Trump adalah pendukung kuat mereka.
Apa yang terjadi jika dukungan AS dicabut?
Seorang perwira senior Angkatan Udara Israel telah mengungkapkan rencana untuk meningkatkan produksi bom, rudal, dan amunisi lainnya di dalam wilayah pendudukan Israel. Rencana ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan angkatan udara terhadap pemasok asing, terutama Amerika Serikat, Al Mayadeen melaporkan.
Berbicara kepada surat kabar Israel, Haaretz, awal September 2024, perwira tersebut menekankan bahwa tanpa dukungan Amerika, militer Israel, terutama angkatan udara, akan menghadapi kesulitan yang signifikan dalam mempertahankan agresinya selama lebih dari beberapa bulan.
Rekomendasi tersebut muncul di tengah-tengah keinginan Israel untuk meminimalkan ketergantungannya pada pemasok eksternal, menurut surat kabar tersebut.
Pada 7 Januari 2025, Kementerian Pertahanan Israel akhirnya menandatangani dua kesepakatan senilai NIS 1 miliar (sekitar Rp 4,4 triliun) dengan produsen senjata swasta domestik terbesar di negara itu, Elbit, untuk membuat bom berat dan bahan mentah yang dibutuhkan untuk pertahanan, mengurangi ketergantungan pada impor.
"Perjanjian-perjanjian strategis ini sangat penting untuk meningkatkan daya tahan operasional Pasukan Pertahanan Israel dan kemampuan membangun kekuatan," kata kementerian tersebut, yang menggambarkan perlunya mengurangi ketergantungan pada impor sebagai "pelajaran utama" dari perang di Gaza, seperti dikutip Reuters.
Pergeseran ini didorong oleh kekhawatiran atas penundaan pengiriman senjata dari pemerintahan Biden pada Agustus lalu. Penundaan ini terutama berdampak pada Angkatan Udara, karena sebagian besar peralatannya dibeli dari perusahaan-perusahaan Amerika dan didanai melalui bantuan militer AS.
Setelah penundaan ini, pemerintahan Biden, dengan persetujuan Kongres, mengirim pengiriman pasokan militer darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya senilai $14 miliar, di samping bantuan militer tahunan reguler AS sebesar $3,8 miliar. Washington juga memberikan tambahan $500 juta untuk sistem pertahanan udara Israel.
Haaretz menarik kesejajaran antara situasi saat ini dan pengalaman pendudukan Israel selama perang 1967, ketika Presiden Prancis Charles de Gaulle memberlakukan embargo senjata terhadap "Israel", memotong pasokan tank, kapal rudal, dan pesawat Mirage. Pada saat itu, penjajah mengalihkan ketergantungannya pada Amerika Serikat, yang sejak itu memasok Angkatan Udara Israel dengan semua jet tempurnya, serta beberapa bom, rudal, dan peralatan intelijen.
Apakah Israel dapat bertahan tanpa dukungan AS?
Benjamin Miller, seorang profesor Hubungan Internasional dan Direktur Pusat Keamanan Nasional di Universitas Haifa, menyatakan Israel tak dapat bertahan tanpa dukungan ekonomi dan diplomatik AS.
Berbicara kepada surat kabar Israel Globes, Maret 2024, Miller yang seorang ahli dalam tatanan dunia, perang dan perdamaian menjelaskan: "Israel tidak bisa bekerja sendiri. Ia membutuhkan bantuan keuangan dan juga dukungan di arena internasional dari beberapa negara besar.”
Mengapa Amerika Serikat? Karena Israel tidak dapat mengharapkan bantuan dari negara-negara lain, bahkan yang mendukungnya. Cina dan Rusia tentu saja bukan mitra dan Eropa sangat kritis terhadap Israel akhir-akhir ini, dan sensitif di bidang kemanusiaan.
“Australia dan Kanada juga bukan pilihan yang nyata, karena kecenderungan mereka terhadap kita mirip dengan Eropa,” katanya.
AS telah memberikan banyak dukungan kepada Israel dalam hal bantuan luar negeri dan juga di arena diplomatic. Menurut Miller, tanpa bantuan itu, Israel akan sulit melakukan misinya. Pertama, ada bantuan pertahanan, yang pada masa normal berjumlah 3,8 miliar dolar AS per tahun, sekitar 14 miliar dolar AS (anggaran pertahanan Israel, tanpa bantuan AS, adalah 65 miliar dolar AS per tahun pada masa normal).
Terlepas dari dua kapal induk yang dikirim AS ke sini pada awal perang, untuk menghalangi Iran dan Hizbullah, AS juga sering memasok Israel dengan peluru artileri dan tank, serta bom untuk pesawat terbang.
"Jika AS menghentikan bantuan di bidang persenjataan," kata Miller, "Itu adalah masalah besar bagi Israel, karena Israel juga perlu menimbun senjata untuk persiapan perang melawan Hizbullah. Dalam kasus seperti itu, kita akan membutuhkan senjata dalam jumlah besar," kata Miller
Yang tidak kalah penting dari bantuan yang diberikan AS kepada Israel, Miller menekankan, adalah pemanfaatan hak veto yang dimilikinya di Dewan Keamanan PBB. Berkat AS, beberapa resolusi mengenai gencatan senjata di Gaza telah digagalkan hanya dalam beberapa bulan terakhir. "Sejak 7 Oktober, AS telah menggunakan hak veto sebanyak tiga kali untuk kepentingan kami," Miller menambahkan.