TEMPO.CO, Jakarta - Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat alias PTDH dijatuhkan kepada mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak buntut kasus pemerasan penonton konser Djakarta Warehouse Project atau DWP 2024. Divisi Profesi dan Pengamanan atau Propam Polri mengungkapkan, Donald selaku pimpinan seharusnya mencegah terjadinya pemerasan penonton DWP 2024 itu.
“Selaku pimpinan seharusnya bisa menilai kira-kira itu melanggar atau tidak. Pimpinan bisa melarang. Kalau itu (Donald) tahu tapi membiarkan tentunya pimpinan bertanggung jawab,” kata Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Agus Wijayanto di Gedung TNCC Mabes Polri, Kamis, 2 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Agus, sanksi pemecatan yang dijatuhkan terhadap Donald sejalan dengan pesan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang pelanggaran di mana pimpinannya melakukan pembiaran. Agus menilai seharusnya Donald mampu menghentikan aktivitas pemerasan saat DWP 2024 itu namun tidak dilakukannya.
“Harus punya langkah menghentikan itu, karena ada kewajiban pimpinan untuk bisa menghentikan itu, tapi tidak dilakukan,” ucap Agus.
Bagaimana sebenarnya aturan penerapan sanksi PTDH di kepolisian dan pelanggaran apa saja yang bisa dijatuhi vonis berat ini?
PTDH sendiri merupakan pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap pejabat Polri karena sebab-sebab tertentu. Sanksi ini diatur dalam Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan Perpol yang diundangkan per 15 Juni 2022 ini, anggota polisi dapat dijatuhi sanksi administratif berupa PTDH apabila melanggar aturan-aturan kode etik yang ditetapkan Komisi Kode Etik Profesi atau KKEP dan Komisi Etik Polri. Sebenarnya polisi pelanggar etik tak serta-merta harus langsung dihukum PTDH, namun sanksi ini adalah yang terberat.
Menurut beleid, ada beberapa sanksi bagi anggota Polri yang dinyatakan melanggar kode etik. Sanksi tersebut antara lain permohonan maaf secara lisan maupun tertulis; mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi; demosi jabatan, fungsi, atau tempat tugas minimal setahun; maupun PTDH.
Adapun seorang anggota polisi dapat dijatuhi sanksi pelanggaran etik terberat berupa PTDH apabila:
1. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri.
2. Diketahui memberikan keterangan palsu dan tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri.
3. Melakukan usaha atau perbuatan yang nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang negara.
4. Melanggar sumpah atau janji anggota Polri, sumpah jabatan dan/atau KEPP.
5. Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 hari kerja secara berturut-turut.
6. Melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain.
7. Melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya.
8. Menjadi anggota atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan masih tetap mempertahankan statusnya itu.
9. Dijatuhi hukuman disiplin lebih dari tiga kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH.
Sebelumnya, kasus pemerasan yang terhadi di festival DWP pada 13-15 Desember 2024 lalu mencuat setelah sejumlah korban bersuara di media sosial soal pemerasan yang dialami dengan modus razia narkoba. Mereka mengaku dipaksa menyerahkan sejumlah uang lantaran polisi mengancam akan menahan mereka.
Kepala Divisi Propam Polri Irjen Abdul Karim mengatakan telah menyita barang bukti berupa uang sejumlah Rp 2,5 miliar. Dalam kasus ini ada 45 warga asal Malaysia yang menjadi korban. Kemudian, terdapat 18 anggota Polri yang terlibat, mereka merupakan personel Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Pusat, dan Polsek Kemayoran.
Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.