TEMPO.CO, Jakarta - Kekuasaan atau wewenang sering kali dianggap sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam kehidupan seseorang, baik dalam konteks pekerjaan maupun peran sosial. Namun, ketika masa kekuasaan berakhir, tidak semua orang dapat menerima transisi ini dengan baik. Bagi sebagian individu, perubahan ini terasa sangat berat karena identitas mereka telah begitu lekat dengan peran yang sebelumnya mereka jalani. Kondisi inilah yang menyebabkan timbulnya post power syndrome.
Post power syndrome dapat didefinisikan sebagai kondisi psikologis yang terjadi setelah seseorang kehilangan kekuasaan atau jabatan yang signifikan dalam hidupnya. Istilah ini berasal dari kata "post" yang berarti setelah, dan "power" yang berarti kekuasaan. Gejala ini biasanya bersifat negatif, baik secara fisik maupun mental, yang dialami oleh individu yang sebelumnya terbiasa dengan posisi otoritatif atau memiliki pengaruh besar.
Melansir dari journal.uinsgd.ac.id, post power syndrome sebagai kumpulan gejala psikis yang dialami individu setelah kehilangan kekuasaan. Gejala ini sering muncul pada individu yang memiliki keterikatan mendalam dengan peran kepemimpinan atau kekuasaan yang sebelumnya mereka miliki. Ketika peran tersebut diambil atau berakhir, individu tersebut sering kali kesulitan beradaptasi dengan status baru mereka, yang tidak lagi diiringi dengan pengakuan, penghormatan, dan otoritas.
Post power syndrome dapat menyerang siapa saja yang kehilangan posisi kekuasaan, namun umumnya lebih sering terjadi pada orang yang tidak memiliki rencana atau persiapan yang matang untuk menghadapi masa pensiun atau transisi jabatan. Orang-orang yang terbiasa diakui, dihormati, atau dilayani oleh orang lain cenderung lebih rentan terhadap gejala ini.
Gejala-Gejala Post Power Syndrome
Gejala post power syndrome dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama: gejala fisik, gejala emosi, dan gejala perilaku.
1. Gejala Fisik
Orang yang mengalami post power syndrome sering kali menunjukkan tanda-tanda penuaan dini. Mereka terlihat lebih cepat menua setelah kehilangan kekuasaan, yang ditandai dengan rambut yang memutih, kulit yang lebih berkeriput, serta penurunan kesehatan secara umum. Mereka mungkin menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan merasa lelah secara fisik. Kondisi ini muncul sebagai akibat dari stres dan beban psikologis yang dihadapi individu setelah kehilangan jabatan.
2. Gejala Emosi
Secara emosional, individu dengan post power syndrome sering merasa tidak berharga, mudah tersinggung, dan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Mereka mungkin merasa bahwa hidup mereka tidak lagi bermakna tanpa kekuasaan yang sebelumnya mereka miliki. Kondisi ini dapat menyebabkan perasaan depresi, kecemasan, dan keputusasaan. Mereka juga sering mengalami rasa malu untuk bertemu orang lain karena merasa status sosialnya menurun, dan mereka tidak lagi memiliki prestise yang sama seperti dulu.
3. Gejala Perilaku
Perilaku seseorang yang mengalami post power syndrome sering kali berubah drastis. Mereka mungkin menunjukkan kemarahan yang tidak terkontrol, baik di rumah maupun di tempat umum. Perilaku kekerasan, baik verbal maupun fisik, juga dapat muncul sebagai manifestasi dari frustrasi yang mereka alami. Selain itu, mereka mungkin menghindari pertemuan sosial atau berusaha bersembunyi dari pandangan publik karena merasa malu atas penurunan status sosial mereka.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Post Power Syndrome
Seperti yang dilansir dari ejournal.undip.ac.id, beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya Post-Power Syndrome antara lain:
1. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan
Ketika seseorang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam satu peran atau jabatan, kepuasan kerja menjadi bagian integral dari identitas mereka. Kehilangan jabatan berarti kehilangan sumber utama kepuasan tersebut, yang dapat memicu gejala post power syndrome. Individu yang sangat bergantung pada peran pekerjaan mereka sebagai sumber kebahagiaan dan rasa berharga lebih rentan terhadap sindrom ini.
2. Usia
Usia menjadi faktor yang penting dalam mengalami gejala post power syndrome. Orang yang lebih tua cenderung lebih sulit beradaptasi dengan perubahan drastis dalam hidup mereka, terutama ketika mereka kehilangan peran penting yang telah mereka jalani selama bertahun-tahun.
3. Kesehatan
Kesehatan fisik yang menurun seiring bertambahnya usia juga dapat memperburuk gejala post power syndrome. Ketika individu merasa tubuh mereka tidak lagi sekuat dulu, hal ini dapat memperkuat perasaan tidak berdaya dan putus asa.
4. Status Sosial Sebelum Pensiun
Individu yang memiliki status sosial tinggi sebelum pensiun atau kehilangan jabatan cenderung lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan setelah kehilangan posisi tersebut. Mereka mungkin merasa teralienasi dari lingkungan sosial mereka karena tidak lagi memiliki kekuasaan atau pengaruh yang sama.
MYESHA FATINA RACHMAN | UNDIP AC.ID | UIN SGD.AC.ID
Pilihan Editor: Post-Power Syndrome Jokowi Menjelang Pensiun