Demi Jaga Marwah Akademik, Abdul Mu’ti Dukung Ketum PP Muhammadiyah Larang Pemberian Gelar Profesor Kehormatan

2 days ago 12

pemberian gelar profesor kehormatanMenteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti saat ditemui di kantornya di Jakarta Pusat pada Senin (3/3/2025). Dia mendukung keputusan Ketum PP Muhammadiyah yang melarang pemberian gelar Profesor Kehormatan | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Keputusan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk melarang seluruh perguruan tinggi di bawah naungannya memberikan gelar profesor kehormatan bukan tanpa alasan. Langkah itu diambil demi menjaga kualitas akademik, integritas ilmiah, serta marwah jabatan guru besar di tengah tren populisme gelar.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa gelar profesor bukan sekadar simbol kehormatan, melainkan jabatan akademik yang melekat pada kapasitas keilmuan dan institusi perguruan tinggi. Karena itu, ia melarang Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) memberikan gelar profesor kehormatan untuk siapa pun dan dalam bidang apa pun.

“PTMA jangan ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan. Karena profesor itu profesi yang melekat pada jabatan akademik, bukan sekadar penghargaan,” ujar Haedar saat memberikan sambutan dalam acara pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Jebul Suroso, sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Keperawatan, Kamis (10/4/2025).

Haedar menekankan bahwa semakin tinggi akreditasi institusi, seharusnya semakin besar pula kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat dan pembangunan peradaban. Menurutnya, keunggulan akademik harus dibuktikan melalui kualitas, bukan sekadar banyaknya gelar yang disematkan.

“Kalau nanti sampai 20 PTMA mendapatkan akreditasi unggul, maka itu harus dibarengi dengan peningkatan mutu dalam catur dharma perguruan tinggi serta peran strategis mencerdaskan kehidupan bangsa,” tambahnya.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyatakan dukungan penuh atas larangan tersebut. Menurutnya, keputusan ini merupakan langkah tepat untuk menjaga kredibilitas gelar akademik di Indonesia, khususnya jabatan guru besar.

“Karena menurut saya, gelar guru besar itu memang harus sesuai dengan namanya, yaitu orang yang secara keilmuan tidak diragukan oleh siapa pun,” tutur Mu’ti usai menghadiri pertemuan di Kantor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikti), Jakarta Pusat, Jumat (11/4/2025).

Mu’ti menambahkan bahwa proses meraih gelar profesor bukan perkara mudah. Ia mencontohkan perjuangannya sendiri yang membutuhkan waktu panjang dan tantangan yang berat untuk mencapai jabatan akademik tertinggi tersebut.

“Kesulitan itu justru bagian dari mekanisme menjaga mutu dan marwah perguruan tinggi, serta penghormatan terhadap guru besar itu sendiri,” ujarnya.

Sebagai informasi, gelar profesor kehormatan atau honoris causa biasanya diberikan kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa atau berprestasi luar biasa dalam bidang tertentu, meski tidak menempuh jalur akademik formal di perguruan tinggi pemberi gelar. Namun, Muhammadiyah memilih jalur berbeda, dengan menegaskan pentingnya integritas akademik dibanding sekadar penghargaan simbolik.  

www.tempo.co

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |