TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi dalam proses penyidikan kasus kriminal. Desakan itu kembali muncul setelah munculnya dugaan rekayasa kasus dalam peristiwa penembakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan, Gamma Rizkynata Oktafandy, oleh anggota Polres Semarang, Aipda Robig Zanudin.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, menyatakan reformasi dalam proses penyidikan sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadinya konflik kepentingan. Dalam kasus seperti ini, menurut Gamma, tak jarang polisi seperti melindungi koleganya.
"Ketika polisi menyelidiki polisi, ada konflik kepentingan yang sulit dihindari. Hubungan kolegial dan hierarki internal kerap mengaburkan objektivitas," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnys.
Peristiwa penembakan terhadap Gamma terjadi pada Ahad dini hari, 24 November 2024. Awalnya, Kapolrestabes Semarang, Komisaris Besar (Kombes) Irwan Anwar, mencap Gamma sebagai pelaku tawuran dan anggota gengster. Irwan menyatakan Gamma menyerang Robig yang berupaya membubarkan aksi tawuran tersebut. Robig, menurut Irwan, kemudian membela diri dengan menembak Gamma.
Akan tetapi cerita versi Irwan itu bertolak belakang dengan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Jawa Tengah. Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Kepala Bid Propam Polda Jawa Tengah, Kombes Aris Supriyono, menyatakan penembakan itu tak berhubungan dengan tawuran.
"Penembakan yang dilakukan terduga pelanggar tidak terkait dengan pembubaran tawuran yang sebelumnya terjadi," kata Aris. "Kemudian, motif yang dilakukan oleh terduga pelanggar dikarenakan pada saat perjalanan pulang mendapat satu kendaraan yang memakan jalannya, terduga pelanggar jadi kena pepet," sambungnya.
Erasmus menilai upaya rekayasa kasus seperti ini mencerminkan bias bawaan dalam penanganan perkara yang melibatkan sesama anggota polisi. Hal itu, menurut dia, bisa terjadi karena minimnya pengawasan dalam proses penyidikan.
Dalam sistem pidana Indonesia, menurut Erasmus, kewenangan penyidikan sepenuhnya berada di tangan polisi. ICJR menilai ketiadaan mekanisme pengawasan eksternal yang efektif menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang. Jaksa sebagai penuntut umum, yang seharusnya berperan mengawasi jalannya penyidikan, justru terhambat oleh aturan yang menuntut mereka menunggu koordinasi dari kepolisian.
Tak adanya pengawasan dari jaksa dalam proses penyidikan, menurut Erasmus, juga berimbas dari kerap terhambatnya proses penuntutan. Jaksa kerap mengembalikan berkas penyidikan karena penyidikan yang tak lengkap. Akibatnya, menurut dia, hal itu menghambat keadilan bagi korban maupun tersangka. Tak jarang pula, penahanan yang dilakukan oleh penyidik dianggap berlebihan dan tidak proporsional.
Karena itu, ICJR mendesak agar pemerintah melakukan reformasi dengan menempatkan penyidikan di bawah pengawasan penuntutan. Langkah ini sesuai dengan peran jaksa sebagai Dominus Litis atau pengendali sebuah perkara. "Jaksa harus memastikan setiap langkah penyidikan sesuai prosedur hukum dan menjunjung hak asasi manusia," ucap Erasmus.
ICJR menilai hal itu bisa dilakukan dengan cara merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain menempatkan jaksa sebagai pengawas penyidikan, menurut Erasmus, perlu juga memperkuat peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam mengawasi jalannya penyidikan. Penguatan lembaga pengawas independen juga diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan.
Upaya rekayasa kasus Gamma Rizkynata Oktafansy, menurut Erasmus, menjadi petanda pentingan reformasi penyidikan. Tanpa reformasi struktural, menurut dia, penyidikan oleh polisi akan terus menjadi ladang subur bagi penyalahgunaan wewenang. "Sudah waktunya sistem penegakan hukum di Indonesia menghadirkan mekanisme pengawasan yang kokoh dan berkeadilan," kata Erasmus.