TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Kamis, 30 Januari 2025 yang mengungkap berbagai kejanggalan dalam kasus dugaan salah tangkap terhadap empat anak dalam perkara penganiayaan di Tasikmalaya. Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman, sejumlah anggota DPR menyoroti aspek penegakan hukum yang dinilai tidak berpihak pada keadilan bagi anak.
Anggota DPR Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka menekankan pentingnya penanganan perkara anak yang berlandaskan pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ia juga menyoroti temuan rekaman CCTV yang dapat menjadi alat bukti dalam kasus ini, namun ternyata tidak dapat diakses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“CCTV di lima titik mati karena alasan renovasi gedung. Bahkan di area Polres terdapat 15 CCTV, tetapi rekamannya hanya bisa menyimpan data selama tujuh hari. Terakhir kali berfungsi pada 16 Mei 2024, padahal peristiwa terjadi pada 17 November 2024,” ujar Rieke.
Dia juga mempertanyakan proses penahanan para anak berhadapan hukum yang dinilai tidak sesuai prosedur. Berdasarkan salinan putusan, majelis hakim menyatakan bahwa penyidik dan penuntut umum tidak melakukan penahanan, padahal keempat anak sudah ditahan sejak 1 Desember 2024. Bahkan, kasus ini diproses dua kali dengan dakwaan yang sama, majelis hakim yang sama, dan jaksa penuntut umum yang sama.
“Ini kasus dua kali untuk hal yang sama. Eksepsi diterima, tetapi anak tetap ditahan dengan dakwaan baru. Ini jelas menyalahi prinsip peradilan yang adil,” katanya.
Rieke juga menyoroti keberadaan saksi tunggal yang menjadi dasar putusan pengadilan tanpa didukung alat bukti lain. Ia menyebut bahwa dalam persidangan, kesaksian polisi tidak dapat dianggap sebagai alat bukti sah jika tidak didukung bukti lainnya.
Komisi III DPR juga meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang menangani perkara ini guna memastikan tidak ada pelanggaran etik dalam proses persidangan. Selain itu, mereka juga mendesak agar aparat penegak hukum yang menangani kasus ini diperiksa lebih lanjut.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan penjara terhadap empat anak di bawah umur yang diduga menjadi korban salah tangkap. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan kekerasan yang menyebabkan korban luka berat.
Ketua majelis hakim, Dewi Rindaryati, memvonis keempat anak itu dengan hukuman bui dimuka persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis 23 Januari 2025. Hakim juga menyebutkan bahwa putusan itu sempat dibacakan pada Kamis, 16 Januari 2025, namun diulang pada 23 Januari 2025.
Putusan hakim ini lebih ringan empat bulan dari tuntutan jaksa. Keempat anak itu yakni FM, 17 tahun, RS (16), DW (16), dan RR (15). Mereka diperintahkan untuk menjalani hukum penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandung.
Dalam pembacaan putusannya, pertimbangan hakim yang memberatkan yakni anak dinilai berbelit-belit dalam menyampaikan keterangannya dan tidak mengakui perbuatannya di muka persidangan. Selain itu, para anak ini juga tergabung dalam komunitas sepeda motor, di mana Kota Tasikmalaya sedang marak kejahatan geng motor yang meresahkan masyarakat.
Pertimbangan hakim yang meringankan anak berhadapan dengan hukum ini yakni diantara mereka masih berstatus pelajar. "Menetapkan para anak tetap berada dalam tahanan. Mengurangi pidana penjara yang sudah dijatuhkan dengan masa tahanan yang telah dijalani," ucap ketua Majelis hakim.
Seperti diketahui sebelumnya, teman korban yang tergabung dalam komunitas Tarung Derajat, kerap mendatangi pengadilan untuk mengawal jalannya persidangan. Mereka juga sempat berunjuk rasa pada Selasa kemarin, agar hakim tidak terpengaruh dalam menentukan putusannya meski ada intervensi dari komisi III DPR.