Fadli Zon Dinilai Kaburkan Sejarah, PDIP Tuntut Proyek Penulisan Ulang Sejarah Dihentikan

21 hours ago 10

Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat meninjau Studio Batik di Słupski Ośrodek Kultury, Polandia, Senin pagi (15/6/2025) | Foto ilustrasi: Instagram

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Kontroversi yang kian meruncing terkait proyek penulisan ulang sejarah oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, mendorong legislator PDIP mendesak penghentian rencana tersebut.

Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana meminta Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberikan penjelasan atas pernyataannya yang menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998. Ia juga meminta proyek penulisan ulang sejarah segera dihentikan.

“Apa yang menurut Menteri Kebudayaan tidak ada, bukan berarti tak terjadi,” kata Bonnie kepada wartawan, Rabu (18/6/2025).

Bonnie menilai upaya menulis ulang sejarah Indonesia sebaiknya tak diteruskan jika hanya akan menghasilkan narasi yang berpihak pada kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa sejarah tak boleh ditulis secara selektif demi kepentingan politik tertentu.

“Kalau hanya bertujuan politis dan parsial, lebih baik hentikan saja penulisan sejarah ini,” ujarnya.

Ia juga menegaskan agar proyek penulisan sejarah tak mengabaikan berbagai kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Bonnie mempertanyakan alasan Fadli Zon yang mempersoalkan istilah “massal” terkait kekerasan seksual, padahal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sudah mencatat lebih dari 50 korban.

“Kalau niatnya mempersatukan bangsa, kenapa justru mempersoalkan istilah massal atau tidak, padahal faktanya jelas ada korban,” katanya.

Menurut Bonnie, penyangkalan terhadap kerusuhan 1998 justru akan melukai para korban dan keluarganya, apalagi jika pemerkosaan massal hanya dianggap rumor.

“Penyangkalan atas peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa hanya akan memperburuk trauma yang mereka alami,” ujarnya.

Polemik terkait pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal 1998 juga memicu kritik dari berbagai pihak. Komnas Perempuan menilai pernyataan Fadli menyakitkan bagi para penyintas dan berpotensi memperpanjang impunitas pelaku kekerasan.

“Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga memperpanjang impunitas,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, Minggu (15/6/2025).

Menanggapi kritik yang meluas, Fadli Zon sebelumnya menegaskan bahwa ia tidak bermaksud meniadakan penderitaan korban. Ia mengutuk keras segala bentuk kekerasan seksual, baik di masa lalu maupun sekarang.

“Saya tidak menihilkan penderitaan korban dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998,” ujarnya dalam klarifikasi, Senin (16/6/2025).

Ia beralasan, hingga kini masih ada perbedaan pandangan mengenai skala pemerkosaan massal tersebut. Bahkan, menurutnya, investigasi media terkemuka pun belum dapat membuktikan fakta kuat soal peristiwa itu. Selain itu, laporan TGPF hanya mencantumkan angka tanpa data lengkap seperti nama korban, lokasi, atau pelaku.

“Karena itulah harus sangat berhati-hati agar tidak keliru dalam menyusun fakta sejarah,” kata Fadli.

Sementara itu, sikap tegas juga datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang meminta pemerintah menghentikan proyek penulisan ulang sejarah. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fraksi PDIP, Maria Yohana Esti Wijayati, menegaskan sikap partainya.

“Kami meminta dengan tegas: setop penulisan (ulang sejarah) ini karena sudah menimbulkan polemik dan melukai banyak orang,” kata Esti saat ditemui di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (30/6/2025).

Esti mengatakan sikap PDIP kini lebih tegas dari sebelumnya yang hanya meminta penundaan. “Banyaknya polemik membuat kami tak cukup hanya meminta tunda. Sekarang kami minta proyek ini dihentikan,” ujarnya.

Fraksi PDIP, kata Esti, akan menggunakan jalur DPR untuk mendorong penghentian proyek penulisan ulang sejarah. Komisi X DPR akan memanggil Fadli Zon untuk membahas program kerja kementeriannya, termasuk soal proyek ini.

Menurut Esti, tak ada urgensi memaksakan penulisan ulang sejarah versi pemerintah, sebab sudah timbul banyak gejolak bahkan sebelum buku sejarah itu rampung. Ia khawatir narasi sejarah yang disusun tidak sesuai fakta.

“Kami khawatir hasilnya justru tidak akurat,” ujar Ketua DPP PDIP tersebut.

Esti mengungkapkan, kekhawatiran itu makin besar setelah sejumlah sejarawan memutuskan mundur dari tim penulisan karena tak sejalan dengan visi pemerintah. Kekhawatiran serupa, menurutnya, sudah disampaikan pula dalam rapat dengar pendapat di Komisi X DPR.

Fadli Zon sebelumnya menyampaikan bahwa proyek penulisan ulang sejarah ditargetkan selesai pada Agustus 2025, bertepatan dengan HUT ke-80 Republik Indonesia. Ia memastikan ruang diskusi akan dibuka setelah draf buku sejarah rampung sekitar 70-80 persen.

“Sekarang sudah di atas 50 persen. Nanti kalau sudah mendekati selesai, forum diskusi akan digelar,” kata politikus Partai Gerindra itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). [*]

Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |