TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan berkebangsaan Inggris, Peter Carey, mengaku sedih dengan kesimpulan Tim Pencari Fakta ad hoc bentukan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menyatakan tidak ada unsur plagiarisme dalam dua buku sejarah Madiun yang disusun oleh Sri Margana dan empat penulis lainnya dari Departemen Sejarah.
Sebelumnya dua buku sejarah berjudul Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV ke Abad XXI dan Raden Rangga Prawiradirdja III Bupati Madiun 1796-1810: Sebuah Biografi Politik itu dipersoalkan Carey karena dianggap mencomot isi buku yang ia tulis, Kuasa Ramalan, tanpa meminta izin.
“Saya betul-betul trenyuh, hati teriris (dengan kesimpulan itu). Sebab sebenarnya dengan jerih payah dan keuangan Sultan (Hamengku Buwono) ke-9, dengan perjuangan selama revolusi, berujung pada institusi yang tak punya martabat. Itu tidak baik untuk leluhur. Leluhur ora sare, jangan main-main dengan leluhur, sebab kalau tidak, akan disikat habis,” kata Carey kepada Tempo seusai mengisi kuliah umum di Universitas Ciputra, Surabaya, Senin, 18 November 2024.
Carey tetap dalam pendapatnya bahwa apa yang dilakukan Departemen Sejarah UGM sebagai plagiarisme. Alasannya karena tidak ada komunikasi dari tim penulis buku kapada dia soal pengambilan sebagian data di Kuasa Ramalan. Carey mencontohkan, bila mengutip data dari sebuah website maupun mengunduh gambar, ia selalu minta izin dulu dan membayar royalti. “Ini lumrah karena berkaitan dengan hak cipta,” kata Carey.
Menurut Carey sebenarnya masalah buku tersebut amat sederhana bila UGM bersedia menempuh tiga cara sebelum menerbitkan, Pertama, menjadikan Kuasa Ramalan sebagai sendi, lalu UGM membuat buku baru secara total. Tim penyusun harus turun ke lapangan sendiri, mempelajari genealogi atas obyek yang akan ditulis, mengumpulkan semua bahan, termasuk ziarah ke tempat-tempat keramat, mewawancarai juru kunci, dan mengumpulkan bahan sejarah lisan.
“Bila hal itu dilakukan, mungkin hasilnya malah bisa melampaui arsip penelitian saya,” kata Carey.
Kedua, bila tidak punya waktu untuk turun ke lapangan, ujar Carey, sebaiknya UGM mengetuk pintu Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) selau penerbit Kuasa Ramalan, meminta izin untuk mengunduh tujuh halaman dari buku itu. Jika KPG bilang probono dan berkoordinasi dengan dia, Carey mengatakan setuju-setuju saja.
Namun Carey sebenarnya keberatan bila probono murni karena ia tahu proyek penyusunan buku sejarah Madiun itu dianggarkan cukup besar, yakni mencapai ratusan juta. Sehingga layak dan wajar bagi UGM membayar hak cipta kepada KPG selaku penerbit Kuasa Ramalan. Apalagi KPG, kata Carey, memodali tak sedikit untuk menerbitkan buku-buku karya dia, termasuk Kuasa Ramalan.
“Kalau tidak ada sponsor yang membantu KPG, sebenarnya harga satu buku saya itu Rp 450 ribu. (Bila ada pemberitahuan UGM) mereka tentu akan bersonsultasi dengan hukum dan finance KPG sendiri, lantas menentukan satu harga. Dan kalau mereka ada niat pasti menghubungi saya dan bilang bahwa ‘sedikit dari harga atau separuh atau sepertiga akan untuk Peter Carey,” tuturnya.
Ketiga, ujar Carey, UGM bisa langsung mengetuk pintu dia dan bilang bahwa ‘anda sudah membuat suatu penelitian yang mendasar, bagaimana kalau bergabung dengan tim editorial kami.’ Entah akhirnya ia mau atau tidak masuk tim, Carey merasa hal itu sepatutnya ditempuh lebih dulu oleh tim penyusun buku.
Namun Carey menyayangkan karena UGM memilih tidak konsultasi dengan KPG maupun dia karena kepepet waktu. Menurut Carey tim buku UGM mengunduh tujuh halaman dan banyak mengotak-atik tulisannya untuk melengkapi tugas penyusunan buku tersebut dengan jangka waktu satu tahun. “Dan itu cara yang curang, merusak reputasi dan rasa percaya,” kata Carey.
Sebelumnya Dekan FIB UGM Setiadi menyimpulkan tidak ada unsur plagiarisme dalam dua buku sejarah Madiun yang ditulis oleh Sri Margana dan empat rekannya dari Departemen Sejarah UGM. “Tim ad hoc berkesimpulan bahwa kedua buku tidak dapat dikategorikan sebagai plagiasi,” kata Dekan FIB UGM, Setiadi, dalam keterangan resminya pada Jumat, 15 November 2024.
Berdasarkan keterangan Setiadi, tim ad hoc telah mengecek unsur plagirisme menggunakan pedoman internasional dari Oxford University serta Permendikbud Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Selain itu, tim juga telah memanggil tim penulis dari Departemen Sejarah untuk dimintai keterangan.
Berdasarkan pedoman tersebut, kata Setiadi, tim ad hoc menyimpulkan bahwa pengutipan dalam kedua buku telah sesuai dengan kaidah. Setiadi mengatakan dalam buku Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV ke Abad XXI, nama Peter Carey telah dicantumkan sebagai sumber pada kalimat yang mendahului kutipan.
“Lalu, terhadap buku Raden Rangga Prawiradirdja III Bupati Madiun 1796-1810: Sebuah Biografi Politik ditemukan bahwa semua kutipan dan perujukan teks di buku tersebut telah mencantumkan rujukan kepada buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey secara lengkap dan detil baik dalam tubuh teks, catatan kaki, maupun daftar pustaka,” kata Setiadi.
Setiadi juga mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, jika sumber kutipan disebutkan secara lengkap untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan penulisan karya ilmiah, maka tidak dikategorikan sebagai pelanggaran. Selain itu, tim juga memberi catatan bahwa kutipan panjang dan bagian yang diduga plagirisme sudah tidak ditemukan lagi dalam buku versi final.
Soal panjangnya teks yang dikutip dari Kuasa Ramalan, Setiadi mengatakan belum ada peraturan yang secara rinci mengatur panjang-pendek teks yang boleh dikutip. “Belum ada peraturan yang secara rinci menetapkan batasan panjang-pendeknya sebuah pengutipan di dalam teks yang diperbolehkan agar tidak melanggar unsur kepatutan berdasarkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2010,” kata Setiadi.
ANASTASYA LAVENIA Y berkontribusi pada artikel ini.