TEMPO.CO, Surabaya - Sebanyak masing-masing 20 lukisan karya mendiang Amang Rahman Jubair dan Ilham Jubair Baday dipamerkan di Galeri Prabangkara Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Genteng Kali 85 Surabaya, 27 Februari-7 Maret 2025. Mengangkat tema “In Memoriam Amang Rahman Jubair & Ilham Jubair Baday,” pameran tersebut juga sekaligus sebagai peluncuran buku berjudul Estetika Sufistik karya Amang.
Meski dipamerkan bersamaan, namun penataan lukisan bapak dan anak itu dilakukan terpisah. Karya-karya Amang dipajang di ruang sayap kiri lantai dua Galeri Prabangkara, ada pun lukisan-lukisan Ilham di sayap kanan. Ilham adalah putra bungsu dari empat bersaudara.
Karya-karya Amang yang dipamerkan merupakan hasil lukisan yang dia buat sejak dekade 60’an hingga akhir 90’an. Karya-karya tersebut seperti menandai tiap fase perjalanan berkesenian perupa yang meninggal pada 2001 itu. Antara lain berjudul Undangan yang diproduksi pada 1968, Bahtera Kehidupan (1970), Perjalanan Malam (1972), Lorong Waktu (1990), Impresi Gerhana (1995), Sebuah Lagu (1996), dan Bukit di Cangar (1997).
Beberapa poster publikasi pameran tunggal yang pernah digelar pelukis kelahiran Surabaya 21 November 1931 itu juga ditampilkan dalam bingkai kaca. Misalnya pameran lukisan tunggal di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1-11 November 1984, di Pusat Kebudayaan Prancis pada 25-30 Januari 1987, di Bentara Budaya Jakarta pada 18-27 Mei 1990, dan di Taman Ismail Marzuki pada 5-20 Agustus 1992.
Selain itu poster pengumuman pamerannya bersama KH Mustofa Bisri dan D. Zawawi Imron di sebuah hotel Surabaya pada 2001 juga diperlihatkan. Pameran tersebut dibuka oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Yunus Jubair, penyelenggara pameran yang juga putra kedua Amang Rahman, menuturkan tujuan pameran tersebut sebagai contoh kepada publik bahwa untuk menjadi seniman ada runtutan prosesnya. Dalam berproses itu, kata dia, seorang seniman mesti memiliki literatur perjalanan yang dilalui secara konsisten.
“Berani mengarungi semesta, buku-buku, dan pikiran yang dimanifestasikan ke dalam perjalanan raga, rasa dan pikiran. Tiga unsur itu menjadi satu kesatuan profil penjiwaan yang akan terlihat pada karyanya,” tutur Yunus.
Konsistensi kesenimanan Amang Rahman, menurut Yunus, dipelihara dengan membuat target pameran tunggal tiap dua tahun sekali. Tujuannya untuk memberikan semangat berkarya serta agar tetap berada dalam lingkaran kesenian. Target tersebut, kata Yunus, selalu terlaksana.
Yunus mengenang almarhum ayahnya sebagai seniman yang tidak berjalan dengan dua kaki, yakni idealisme dan komersiil. Amang memilih menapaki dunia seni rupa dengan kaki tunggal idealisme. Amang selalu percaya bahwa karya-karya yang ia buat akan berjalan seperti yang diinginkan. Keteguhannya itu pulalah yang membuat Amang pernah menolak tawaran menggelar pameran tunggal untuk memeriahkan peluncuran sebuah bank nasional di Kuningan, Jakarta, meski pun sponsornya telah siap.
Yusnus mengisahkan sponsor tersebut bahkan berani menjamin bahwa 20 dari 40 lukisan yang dipamerkan akan laku dengan harga yang fantastis.Tapi Amang menolak. “Pak Amang bilang ‘kalau di TIM saya mau.’ Pak Amang ingin memposisikan kesenian pada tempatnya,” kata Yunus.
Amang, kata Yunus, mengaku sangat puas karya-karyanya dikoleksi oleh Gus Dur, WS Rendra, Arfin C. Noor, Bakrie dan beberapa tokoh lain. “Artinya karya-karya Pak Amang itu berada di lingkaran orang-orang yang mengerti seni, dan Pak Amang puas,” tutur Yunus.
Yunus berujar sebenarnya tak sedikit kolektor yang ingin memiliki karya Amang. Tapi Amang tak selalu meluluskan keinginan itu. Yunus mencontohkan pernah suatu saat ada kolektor menawar karya Amang sebesar Rp 150 juta – Rp 200 juta, tapi ditolak. Alasannya, lukisan tersebut ingin dikoleksi sendiri.
Namun di mata Yunus ayahnya adalah pelukis yang sukses. Hanya saja Amang memang tak pernah memberitahukan kesuksesan itu pada orang lain, termasuk pada keluarganya. Bagaimana lukisan-lukisan Amang diborong kolektor, keluarganya juga tak pernah diberitahu. Tahu-tahu Amang mewariskan dua rumah yang cukup luas di Surabaya pada anak-anaknya hasil dari melukis.
“Untuk ukuran pelukis di Surabaya, itu sudah tergolong sukses. Pelukis yang bisa hidup dari hasil melukis, salah satunya ya Pak Amang ini,” ucap Yunus.
Sahabat Amang Rahman, Hotman Siahaan, menilai sebagai pelukis Amang penganut surrealisme yang tak diragukan lagi. Warna dan espresi hening dalam lukisannya menunjukkan bahwa di balik keseluruhan karya itu hermenetika religiusitasnya sangat impresif.
Bukan hanya pada karya kaligrafinya yang bahkan telah melanglang buana ke mancanegara, tapi sosok manusia yang penuh canda itu juga sarat spiritualisme yang menunjukkan bahwa hidup baginya adalah kontekstualisasi Tuhan dan manusia yang saling menyapa.
Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga itu melihat jejak berkesenian Amang Rahman merebak hingga ke jalanan becek Kota Surabaya. Mantap dan tegarnya jejak tersebut sungguh tak akan terhapus dalam waktu singkat.
“Bahkan boleh jadi akan dipertegas oleh generasi berikutnya yang memilih Amang Rahman sebagai kiblat berkesiannya,” tutur Hotman dalam pengantar katalog pameran. Hotman mempersilakan tulisannya dikutip.
Jejak langkah Amang, menurut Hotman, beriringan dengan jejak langkah para pendekar kesenian Surabaya yang telah mendahului, antara lain Krishna Mustadjab, Daryono, O.H. Supono, dan M. Ruslan. Nama-nama besar itu adalah pilar seni rupa Surabaya yang hingga kini masih terpateri jejak langkahnya dalam jagad kesenian Surabaya.
“Mereka itu adalah para pawang kesenian Surabaya yang selama bertahun-tahun dengan segala keunikannya masing-masing sebagai pribadi, namun dipertautkan dalam suatu interaksi kesenirupaan yang hingga kini belum ada taranya di Surabaya,” kata Hotman.
Pilihan Editor: Pameran Lukisan 3 Seniman Perempuan di Bandung Ajak Pengunjung Berkontemplasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini