TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok aktivis Justice For Myanmar curiga ada keterlibatan sejumlah negara anggota ASEAN dalam mendukung rezim junta militer Myanmar. Juru bicara kelompok Justice for Myanmar, Yadanar Maung, meminta agar negara-negara Asia Tenggara menghentikan semua dukungan dan legitimasi atas pemerintahan junta. Dia juga menuntut negara-negara ASEAN memutus akses penguasa Myanmar saat ini terhadap dana, senjata, barang-barang penggunaan ganda, teknologi, hingga bahan bakar penerbangan.
"ASEAN harus mengakhiri keterlibatannya dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan junta dengan mengecualikan junta dan perwakilannya dari semua pertemuan, serta mengakhiri dukungan militer, teknis, finansial, dan intelijennya," kata Maung dalam keterangan resminya pada Jumat, 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Justice for Myanmar menyebut mitra ASEAN, seperti Amerika Serikat, Australia, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada, telah memberikan sanksi kepada junta, perusahaan-perusahaan yang berada di bawah kendalinya, dan rekanannya. Namun, anggota ASEAN tetap menjalankan bisnis seperti biasa.
Justice for Myanmar menyebut konglomerat minyak milik Thailand, PTT Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP), yang terdaftar secara publik, mengoperasikan dua proyek gas lepas pantai utama dengan junta, Yadana dan Zawtika, dan jaringan pipa terkait, yang membiayai kekejaman. PTTEP terus mengebor sumur yang akan membuat keuntungan mengalir ke junta.
Lebih lanjut, Justice for Myanmar menduga Vietnam tetap menjadi mitra bisnis utama junta melalui investasi perusahaan milik Kementerian Pertahanan Nasional, Viettel, di Telecom International Myanmar, perusahaan di balik Mytel, dalam kemitraan dengan konglomerat militer Myanmar Economic Corporation. Analisis perkiraan laba Mytel sendiri menunjukkan bahwa militer Myanmar dapat memperoleh lebih dari US$700 juta dalam beberapa tahun mendatang. Junta juga menggunakan Mytel untuk pengawasan, yang didukung oleh Viettel.
Selanjutnya, Taipan terkaya Malaysia, Robert Kuok, adalah pendiri Shangri-La Group, yang mengoperasikan pengembangan real estat Sule Square di tanah yang disewa dari tentara Myanmar. Kesepakatan itu ditandatangani pada 1996, tahun yang sama ketika tentara secara brutal menghancurkan protes demokrasi mahasiswa. Keluarga Kuok telah melanjutkan investasi mereka di Sule Square melalui upaya kudeta militer tahun 2021. Malaysia, yang saat ini menjadi ketua ASEAN, telah gagal mencegah warga negaranya dan perusahaannya melakukan bisnis dengan militer Myanmar.
Tak sampai di situ, Justice for Myanmar turut menyoroti Singapura yang telah lama menjadi pusat bisnis internasional militer. Negara itu tercatat mengizinkan kroni dan rekan junta untuk berbisnis, seperti Tay Za, yang dikenai sanksi oleh AS, Inggris, UE, dan Kanada.
Bagi perusahaan publik Singapura Interra Resources, upaya kudeta militer menguntungkan karena terus mengekstraksi minyak mentah, yang digunakan junta untuk menjalankan kampanye terornya.
Singapura harus berbuat lebih banyak untuk menegakkan pernyataan publiknya bahwa mereka telah berupaya mencegah aliran senjata dan barang-barang dengan penggunaan ganda ke Myanmar, menyusul laporan Pelapor Khusus PBB yang mengungkap entitas yang berbasis di Singapura sebagai sumber bahan senjata terbesar ketiga bagi militer Myanmar dan pengungkapan Justice For Myanmar terhadap 38 perusahaan pialang senjata Myanmar di negara kota tersebut. Justice for Myanmar mendesak Singapura untuk memblokir akses junta ke dana dan bahan bakar penerbangan.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini