TEMPO.CO, Tangerang - Tan, 56 tahun, melaporkan seorang pendeta gereja di Blitar karena diduga telah mencabuli keempat putrinya yang masih di bawah umur. KBH, 67 tahun, pendeta senior gereja di Blitar, Jawa Tengah, dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan tuduhan mencabuli, F 16 tahun, G 14 tahun, T 12 tahun dan N, 8 tahun. "Dugaan pencabulan ini terjadi berulang kali dalam kurun waktu 2022 hingga 2024," ujar Ketua Tim Peradi Bersatu yang merupakan kuasa hukum Tan dan 4 Putrinya, Boy Kanu, saat ditemui di kantor Peradi Bersatu di kawasan PIK 2, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Rabu petang, 12 November 2024.
Boy mengatakan pelecehan seksual pendeta KBH kepada empat putri Tan dilakukan di sejumlah tempat seperti di ruang kerja, rumah pendeta, kolam renang di Blitar, dan sejumlah hotel di Kediri, Madiun, Magetan, Talaga Sarangan, dan Wonogiri. Pelaku, kata Boy, merupakan seorang pendeta, pemuka agama, dan memiliki pengaruh besar di Blitar.
"Layak dan patut untuk dilaporkan ke Mabes Polri agar prosesnya bisa berjalan secara terbuka dan transparan. Mabes Polri harus mengakomodasi dan memberikan atensi terhadap penanganan kasus ini," kata Boy Kanu.
Menurut Boy, para korban yang masih di bawah umur merasa tertekan secara psikologis maupun mental karena telah dilecehkan oleh seorang pendeta yang terlihat sangat religius. "Para korban selama ini tinggal di gereja dan berdekatan dengan pelaku, sehingga akses pelaku bertemu dengan para korban sangat mudah," ujarnya.
Tan melaporkan dugaan pencabulan pendeta KBH ke Mabes Polri pada 5 September 2024 dengan nomor LP/B/314/IX/2024/SPKT/BARESKRIM POLRI. Namun, ketika Tempo mencoba mengkonfirmasi laporan ini ke Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Wahyu Widada belum ada jawaban. Hingga berita ini ditulis, telepon dan pesan Whatsapp Tempo belum dijawab Wahyu.
Tan mengatakan telah melaporkan kasus ini ke KPAI dan Kementerian PPA. "Dua lembaga ini sudah mengetahui kasus ini karena sebelumnya sudah kami laporkan," ujar Tan.
Tan merupakan petugas kebersihan gereja JKI Mahanaim Blitar. Ia dan keempat putrinya selama ini tinggal di dalam sebuah ruangan gereja tersebut. Selain itu, Tan menjadi sopir pribadi pendeta KBH yang tinggal sekitar 5 kilometer dari gereja. "Kami menempati ruangan seluas 3 x5 meter di dalam gereja," kata Tan.
Tan mengaku, hati dan perasaannya sangat hancur ketika mengetahui keempat anaknya telah dilecehkan sang pendeta. Dia menuturkan, mengetahui masalah ini langsung dari putri sulungnya, F, pada 12 April 2024.
Ketika itu F yang kabur ke Kota Kediri bersama temannya berkukuh tidak mau kembali ke rumah mereka. Tan yang saat itu tetap berusaha membujuk anaknya untuk pulang menanyakan alasannya mengapa F mau kabur dan tidak mau pulang.
F menjelaskan alasannya enggan pulang. "Papi jahat sama aku, papi gak peduli sama aku yang telah dirusak sama Abuna (sebutan untuk pendeta KBH), adik-adik juga semuanya sudah dirusak," kata F seperti disampaikan Tan.
F mengaku telah dicabuli berulang kali oleh pendeta KBH selama dua tahun terakhir selama periode 2022-2024. F juga pernah diajak berhubungan intim dengan diiming-imingi dibelikan handphone baru, tapi F menolak.
Mendengar perkataan putrinya saat itu, Tan kaget dan sangat emosional sekaligus juga bingung harus berbuat apa. Pengakuan putrinya itu seolah merobek hati dan meluluhlantakkan perasaannya dan membuatnya lemas. "Saya emosi, bingung sekaligus tidak percaya karena yang dituduh melakukan hal itu adalah romo orang yang dianggap sangat religius dan terpandang, bos tempat saya bekerja yang selama ini sangat saya hormati," kata Tan.
Setelah itu, Tan langsung menanyakan hal ini kepada pendeta KBH. Pendeta itu akhirnya mengakui telah melakukan perbuatan cabul itu dengan alasan sayang anak, bukan karena nafsu.
Menurut Tan, pada 17 April 2024, pendeta KBH menggelar sidang ilahi di gereja yang dihadiri oleh istrinya, Tan, F, dan beberapa pengurus gereja. Dalam sidang tersebut, pendeta KBH bertindak sebagai hakim, jaksa, sekaligus terdakwanya. Hasil sidang, KBH menyatakan dirinya bersalah dan memvonis dirinya tidak boleh pelayanan mimbar atau kutbah selama tiga bulan. "Namun saya tidak puas dengan hasil tersebut, saya dan F keesokannya melapor ke Polres Blitar," kata Tan.
Mengetahui Tan melapor ke polisi, KBH tidak tinggal diam. Dia menyuruh pengacara dan pengurus gereja untuk menekan Tan dengan cara rohani halus. "Saya diminta untuk mencabut laporan dengan pertimbangan jika aib ini menyebar akan memecah umat yang banyak dan sebagainya," kata Tan. Akhirnya Tan mencabut laporan dan dibuatkan surat perdamaian.
Namun, Tan tidak puas dengan surat perdamaian itu apalagi mengetahui jika tiga putri lainnya juga telah menjadi korban. Dia bertekad melawan dan mencari keadilan bagi putrinya dengan meninggalkan gereja dan Blitar.