TEMPO.CO, Jakarta - Penyandang disabilitas mengatakan posisi mereka bukan sebagai manusia yang harus dikasihani. Mereka mengharapkan dukungan yang sama seperti yang bukan difabel.
"Kami hanya ingin dilihat, dibaca, dipahami apa adanya. Enggak dilebih-lebihkan, enggak dikurangi. Kalau dia punya prestasi, oke, enggak perlu berlebihan," kata Basuki, penyandang disabilitas netra, di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Desember 2024.
Kepedulian terhadap Kelompok Difabel
Penyampaian Basuki, yang tergabung dalam Sahabat Mata, menuturkan kepedulian terhadap kelompok difabel ini dalam diskusi bertajuk "Inklusi untuk Semua, Disabilitas Berdaya“. Sawala itu dimulai dengan pemutaran film buatan Sahabat Mata berjudul Sundul Langit. Basuki merupakan sutradara film itu.
Basuki berkisah, awal Sahabat Mata, banyak tunanetra memiliki potensi mumpuni, seperti seni musik. Pada pentas kesenian, Sahabat Mata bahkan ingin menampilkan pementasan lain, seperti teater. Antara pemain di panggung dan penonton di kursi paling belakang berjarak 20 meter. "Dia berbisik di panggung, (yang lain) itu bisa dengar," ujarnya.
Namun setelah muncul pujian karena berhasil membuat pentas teater, kelompok ini bubar. "Setelah pentas berhasil, orang memandang bagus, akhirnya puber popularitas. Besoknya anjlok, dan bubar. Nah, itu banyak terjadi," tutur dia.
Dengan pengalaman itu, Basuki menegaskan, saat mengangkat cerita kreativitas kelompok difabel harus dilakukan apa adanya. Banyak yang menganggap kaum disabilitas seperti "malaikat". "Misalnya Basuki, ya, semacam ini, dengan sandal jepit, enggak perlu dicelupin macam-macam," ucap dia. "Kami pengin enggak dilebih-lebihkan."
Kelompok difabel menyebutkan bahwa banyak kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepada kelompok minoritas itu. Setiap ada usulan program soal kelompok berkebutuhan khusus, itu akan berubah jika pejabat di lembaga itu berganti. "Bahkan enggak punya kepedulian terhadap disabilitas. Itu terjadi di pemerintahan mana pun," tutur Basuki.
Redaktur Tempo, Iwan Kurniawan, mengatakan bahwa kelompok disabilitas membutuhkan dukungan, baik dalam mengembangkan potensi, bisa membantu mereka bisa mandiri. Satu hal utama yang harus didapatkan adalah hak mereka terpenuhi," kata dia, dalam diskusi itu.
Menurut Iwan, pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah harus memenuhi hak kelompok difabel. Sehingga siapa pun, yang bertanggung jawab memenuhi hak itu, perlu menyadari kepentingan kelompok disabilitas itu. "Efek ekonomi kelompok difabel tidak pernah dipertimbangkan dalam kebijakan negara," ucap dia.
Inklusivitas di Tempat Kerja
Program Officer International Labour Organization (ILO) Indonesia, Dina Novita Sari, ILO mendorong inklusivitas di tempat kerja untuk kelompok difabel. Melalui penguatan kapasitas dari organisasi buruh maupun dialog sosial dengan pemerintah.
Dorongan itu tak hanya didiskusikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan. Namun melibatkan kementerian dan lembaga lain untuk bisa memantau isu inklusivitas maupun jender maupun interaksional di dalamnya.
"Saya sepakat pendekatannya akses terhadap hak asasi manusia, bukan me-medical charity chas lagi. Ini yang perlu kita bangun bahwa, policy atau program pemerintah pusat dan daerah berbasis hak asasi manusia," ucap Dina, dalam diskusi yang berlatar pada Hari Penyandang Disabilitas Internasional dan Hari Hak Asasi Manusia, itu.
Sementara film Sundul Langit yang disutradarai oleh teman tunanetra dengan naskah yang ditulis seorang penulis tuli, itu menceritakan kisah seorang siswa tuli yang menjalani kehidupan di sekolah inklusif. Selda, tokoh itu, mendapatkan buly karena berkebutuhan khusus. “Harapan kami, film ini menginspirasi orang lain untuk melihat kemampuan, bukan keterbatasan," ucap Basuki.