TEMPO.CO, Jakarta - RMD, ibu dari anak 12 tahun yang diduga menjadi korban pelecehan seksual lewat manipulasi foto dengan artificial intelligence (AI), melaporkan pelaku ke Polda Metro Jaya atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kuasa hukum RMD, Izza D. Reza, mengungkapkan alasan pihak mereka tidak menggunakan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk menjerat pelaku.
“Setelah dilakukan diskusi bersama pihak penyidik di Polda Metro Jaya, mereka lebih nyaman untuk melakukan pendalaman terhadap Pasal 27 ayat (1) ITE,” kata Izza dalam jawaban tertulis kepada Tempo yang dikutip Sabtu, 16 November 2024.
Izza mengatakan, pihaknya sudah berupaya melaporkan dengan sangkaan pelecehan. “Bahkan kami mengajukan beberapa pasal yang menurut kami dapat diterapkan pada laporan kami, termasuk pasal pada UU TPKS,” tuturnya.
Menurut dia, ancaman untuk pelanggaran atas pasal UU ITE tersebut lebih berat dibandingkan dengan pasal lain. Pasal yang digunakan pihak korban tersebut mengatur soal pendistribusian informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Pada Pasal 45 ayat (1) UU ITE tertuang bahwa pelanggaran atas Pasal 27 ayat (1) berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar.
Sementara pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS, tertulis bahwa ancaman hukuman untuk tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik ialah pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Izza mengharapkan laporan dengan undang-undang tersebut akan memberikan efek jera terhadap pelaku. “Supaya tidak ada lagi kasus-kasus seperti ini, apalagi sampai anak di bawah umur harus menjadi korban,” ujarnya.
Sebelumnya, seorang anak perempuan berusia 12 tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual usai rekan kerja ibunya memanipulasi fotonya menjadi tanpa busana. Pelaku menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk membuat foto anak itu menjadi perempuan berusia 17 tahun yang hanya mengenakan pakaian dalam.
Ketika sang ibu berniat untuk melapor soal dugaan pelecehan ini ke kepolisian, polisi menolak laporannya. Alasannya, tidak ada tindak pidana pelecehan seksual dalam peristiwa itu karena pelaku tidak pernah menyentuh korban. Mereka pun mengarahkan sang ibu untuk melapor menggunakan pasal UU ITE.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi membenarkan soal laporan itu. Nurma menyatakan laporan tersebut tak bisa diproses oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) karena memang tidak ada kontak fisik antara korban dan pelaku.
"Kemarin, kami sudah berkoordinasi bahwa dia tidak disentuh dan tak ada kontak fisik. Hanya mukanya yang dipakai untuk dijadikan konten," ucap Nurma pada Rabu, 6 November 2024.
Nurma mengatakan bahwa ibu korban sudah diarahkan ke Unit Kriminal Khusus (Krimsus). Menurut dia, kasus ini lebih tepat untuk ditangani oleh unit tersebut karena ada unsur penyebaran konten asusila secara digital. "Dia memaksakan untuk diproses di Unit PPA," ujar Nurma.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tindakan pelaku termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). “Tentu saya punya catatan keprihatinan kalau itu tidak dipahami sebagai sebuah tindakan kekerasan,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Jumat, 8 November 2024.
Ai menjelaskan, pelanggaran yang dilakukan pelaku tak hanya soal penyalahgunaan media elektronik. Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah mengenal KSBE sebagai salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual. Sementara jika menggunakan UU ITE untuk menjerat pelaku, yang dipidanakan hanya transaksi atau peristiwa penyebaran foto itu saja. Padahal, sudah ada unsur kekerasan dalam kasus ini. “Tidak bisa parsial dalam menentukan jenis pelanggaran yang terjadi,” tutur Ai.
Pilihan Editor: Peluang Polisi Memeriksa Budi Arie dalam Kasus Judi Online