Menerka Nasib Baik di Antara Ringin Kurung

1 week ago 18
Ringin kurung di Alun-alun Kidul, Keraton Yogyakarta ini memiliki ritual bernama Masangin alias “Masuk di Antara Ringin” dengan mata tertutup. Konon, siapa yang berjalan dari jarak tertentu dan berhasil masuk di antara kedua beringin itu, keinginannya bakal terkabul | Facebook.

JOGLOSEMARNEWS.COM Menutup mata dengan sehelai kain, lalu berjalan perlahan di tengah  lapangan menuju celah di antara dua pohon beringin tua. Itulah tradisi Masangin, atau singkatan dari “masuk di antara ringin”, sebuah ritual Jawa yang diyakini mampu menguji kemurnian hati dan kejernihan batin.

Tradisi itu sangat familier bagi wisatawan yang berkunjung ke  Keraton Yogyakara. Konon, siapapun yang berjalan dengan mata tertutup dan berhasil masuk di antara dua pohon beringin tua yang berjarak 7–8 meter itu, segala keinginannya bakal terkabul. Keren bukan?

Jaraknya memang lumayan lebar, kira-kira selebar gawang sepak bola standar FIFA. Namun jangan bayangkan semudah melesakkan bola tanpa penjaga gawang. Banyak yang mencoba berjalan dari tepi lapangan yang jaraknya sekitar 80–100 meter dari ringin kurung, akhirnya melenceng entah ke kiri atau ke kanan.

Bagi masyarakat Yogyakarta, Masangin berakar pada tradisi keraton, khususnya dalam ritual Tapa Bisu malam 1 Sura, ketika prajurit dan abdi dalem berdiam diri tanpa sepatah kata, kemudian berjalan melewati celah di antara dua pohon beringin pusaka sebagai doa keselamatan dan restu kehidupan.

Ritual Masangin memang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Ringin Kurung, sepasang pohon beringin pusaka yang berdiri kokoh di tengah alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Masyarakat mengenalnya sebagai Kyai Dewandaru di sisi barat dan Kyai Janandaru (atau Wijayandaru) di sisi timur (Yasin Amali, 2025).

Penamaan Ringin Kurung sendiri menyimpan makna mendalam. Kata “ringin” merujuk pada pohon beringin, sedangkan “kurung” menandai pagar yang mengelilinginya, memberi batas pada ruang yang dianggap sakral dan tidak setiap orang bisa memasukinya begitu saja. Keberadaan beringin kembar itu dipercaya sebagai penjaga sumbu filosofi keraton, yakni garis lurus utara–selatan yang menghubungkan Laut Selatan, keraton, hingga Gunung Merapi, simbol keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos (Umar Sahid, 2019).

Filosofi Masangin

Berjalan melewati celah Ringin Kurung dengan mata tertutup dipercaya sebagai sebuah ujian hati. Siapa pun yang berhasil melewatinya dianggap memiliki niat yang tulus dan batin yang bening, sementara mereka yang melenceng diyakini perlu melakukan introspeksi diri (Sabda Elisa Priyanto & Novi Irawati, 2018).

Simbolisme Ringin Kurung sendiri sarat dengan makna filosofis yang diwariskan turun-temurun. Pohon beringin dipandang sebagai lambang pengayoman, sejalan dengan peran seorang raja sebagai pelindung rakyatnya (Radar Jogja, 2024). Kedua beringin kembar juga menyimpan makna khusus: Dewandaru melambangkan aspek ketuhanan, sedangkan Janandaru merepresentasikan sisi kemanusiaan. Penempatan keduanya pada posisi barat–timur menjadi simbol keseimbangan antara pusat spiritual dan pusat ekonomi.

Lebih jauh, pagar yang mengurung beringin menegaskan batas sakral, sementara garis lurus yang menghubungkannya dipandang sebagai sumbu kosmologis yang menyatukan manusia dengan alam semesta (Trubus, 2019). Dalam pandangan orang Jawa, Masangin sering dimaknai sebagai pengejawantahan ajaran Manunggaling Kawula Gusti — sebuah penyatuan antara manusia dengan Tuhannya, sekaligus rakyat dengan rajanya (Umar Sahid, 2019).

Seiring waktu, makna sakral dari tradisi Masangin mengalami pergeseran. Dari sebuah ritual keraton yang penuh nuansa spiritual, Masangin kini bertransformasi menjadi atraksi budaya yang populer. Ribuan wisatawan datang untuk mencoba melewati celah Ringin Kurung, terutama di kawasan Alun-alun Kidul. Fenomena ini kemudian menjadikan Masangin sebagai ikon pariwisata khas Yogyakarta (Etnis, 2019).

Namun, perubahan tersebut sekaligus menimbulkan kegelisahan. Apakah nilai filosofis dan ruh sakral Masangin tetap terjaga? Studi Priyanto & Irawati (2018) mencatat bahwa praktik ini kerap diperlakukan hanya sebagai hiburan atau sekadar “uji nyali”. Tantangannya adalah menjaga agar tradisi ini tidak sekadar bertahan sebagai tontonan, tetapi juga tetap menjadi tuntunan yang menyimpan kedalaman makna Jawa.

Lantas bagaimana dengan tradisi Masangin di Keraton Kasunanan Surakarta? Berbeda dengan Yogyakarta, dokumentasi tentang praktik Masangin di Solo hampir tidak ditemukan. Pohon beringin tetap dipandang simbolis sebagai penjaga keraton, tetapi tidak berkembang menjadi ritual publik sebagaimana di Yogyakarta.

Tradisi Masangin di antara Ringin Kurung adalah warisan leluhur yang menyulam nilai kosmologi, spiritualitas, dan moral dalam ruang publik. Dari Tapa Bisu hingga atraksi wisata, dari doa keselamatan hingga hiburan keluarga, Masangin mencerminkan dinamika budaya Jawa, yakni bagaimana yang sakral bisa bertransformasi, tanpa kehilangan akar makna jika terus dirawat dalam kesadaran kolektif. [*]

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |