Mengenal Cukai Karbon yang Berpotensi Menghasilkan Puluhan Triliun Pertahun

3 weeks ago 31

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah disarankan untuk lebih memilih menerapkan cukai karbon pada kendaraan daripada Pajak Pertambahan Nilai disingkat PPN 12 persen. Hal ini diyakini dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus mempercepat transisi ke energi terbarukan tanpa membebani seluruh lapisan masyarakat.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin, menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers yang diadakan di kantornya, Jakarta, pada Senin, 30 Desember 2024. “Kami menghitung bahwa sebenarnya pemerintah punya peluang pendapatan sekitar 92 triliun dari cukai karbon kendaraan bermotor ini setiap tahunnya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan perhitungan KPBB, penerimaan negara dari kenaikan satu persen PPN menjadi 12 persen hanya akan menghasilkan Rp 67 triliun per tahun. Sementara itu, manfaat dari penerapan cukai karbon kendaraan dapat mencakup pengurangan emisi karbon, berkurangnya polusi udara, pengurangan beban pasokan bahan bakar minyak, percepatan transisi ke energi terbarukan, serta peningkatan penerimaan negara.

Apa itu Cukai Karbon?

Melansir dari Pajak.go.id, cukai karbon, atau pajak karbon, adalah kebijakan yang dirancang untuk mengurangi emisi karbondioksida (CO2), penyebab utama perubahan iklim. Pajak ini dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil, seperti bensin, gas, avtur, dan bahan lainnya yang menghasilkan emisi CO2.

Pajak karbon telah diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mulai berlaku pada 1 April 2022.

Namun, penerapan pajak karbon di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Tantangan utama adalah minimnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat mengenai pajak karbon, serta kebingungannya tentang cara pembayaran. Selain itu, ada potensi kebocoran pajak yang terjadi jika pengusaha tidak melaporkan penggunaan bahan bakar fosil secara akurat. Penerapan pajak karbon juga bisa menyebabkan dampak negatif, seperti kenaikan harga bahan bakar fosil yang berpotensi mendorong inflasi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif mengenai pajak karbon, serta meningkatkan pengawasan untuk mencegah kebocoran pajak. Selain itu, kebijakan pendukung seperti pengembangan infrastruktur transportasi umum dan penyediaan kendaraan listrik yang terjangkau juga diperlukan untuk mendukung keberhasilan penerapan pajak karbon.

Penerapan cukai karbon dianggap lebih efektif daripada kenaikan PPN menjadi 12 persen, karena mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pembelian kendaraan. Berdasarkan data dari KPBB, total beban emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 808.571,79 ton per hari, dengan kontribusi terbesar berasal dari sepeda motor (42 persen), truk (29 persen), bus (17 persen), mobil berbahan bakar bensin (7 persen), mobil berbahan bakar solar (5 persen), dan bajaj (0,0037 persen). Sementara itu, emisi pencemaran udara kendaraan bermotor mencapai 83.522,90 ton per hari, dengan sepeda motor sebagai penyumbang terbesar (68 persen), diikuti oleh mobil berbahan bakar bensin (17 persen), truk (9 persen), bus (4 persen), mobil berbahan bakar solar (2 persen), dan bajaj (0,05 persen).

Untuk mendukung penerapan pajak alias cukai karbon, pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan lain seperti pengembangan infrastruktur transportasi umum dan penyediaan kendaraan listrik yang terjangkau. Pengembangan infrastruktur transportasi umum dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, sementara penyediaan kendaraan listrik yang terjangkau dapat mendorong masyarakat beralih ke pilihan transportasi yang lebih ramah lingkungan.

M Faiz Zaki turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Berapa Potensi Sampah dan Emisi Karbon dari Progra MBG Prabowo? Ini Kalkulasi Walhi

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |