TEMPO.CO, Jakarta - Dalam lawatannya ke Beijing, Cina pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa kedua pemimpin negara membicarakan sejumlah hal termasuk ekonomi biru dan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall. Apa itu?
Dilansir dari Antara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa dari pembicaraan Bilateral antara Presiden Prabowo dengan Presiden Xi Jinping itu diharapkan kerja sama dapat dilanjutkan termasuk mengenai pengembangan di sektor 'blue economy' atau pendalaman dalam sektor yang berbasis maritim mulai dari energi, solar, sampai tentu di sektor 'fisheries' (perikanan).
Pada Sabtu, 9 November 2024, kedua kepala negara menyaksikan penandatanganan sejumlah kesepakatan "G to G" di bidang ekspor buah kelapa segar, perikanan tangkap berkelanjutan, ekonomi biru, sumber daya mineral, mineral hijau, sumber daya air, pendanaan makan bergizi untuk anak sekolah hingga keamanan maritim.
"Beberapa hal yang disampaikan oleh Presiden, Pak Prabowo dan juga mendapat respons baik dari Presiden Xi Jinping yaitu kerja sama yang menjadi proyek kebanggaan yaitu 'High Speed Train' Jakarta-Bandung, kemudian proyek ke depan Bapak Presiden menyampaikan terkait dengan Giant Sea Wall yaitu bendungan di utara Jawa," kata Airlangga saat ditemui di Beijing pada Minggu, 10 November 2024 dikutip dari Antaranews.
Mengenal Proyek Giant Sea Wall
Giant Sea Wall (GSW) merupakan proyek tanggul laut raksasa yang direncanakan membentang dari Jakarta hingga Gresik, Jawa Timur.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah mengatakan bahwa tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall dibuat dengan tujuan untuk mengatasi adanya ancaman banjir rob dan penurunan muka tanah atau land subsidence di wilayah utara Pulau Jawa.
Pantai Utara atau Pantura Jawa, kata Airlangga, terpantau mengalami variasi penurunan tanah sekitar 1 hingga 25 sentimeter per tahun. Di samping itu, tantangan lain yang mengintai adalah peningkatan permukaan air laut sebesar 1 hingga 15 sentimeter per tahun di beberapa wilayah, serta kejadian banjir rob.
"Adanya ancaman land subsidence dan fenomena banjir rob yang terjadi di Kawasan Pantai Utara atau Pantura Jawa tidak hanya membahayakan keberlangsungan aktivitas ekonomi dan aset infrastruktur ekonomi nasional di wilayah tersebut, tetapi juga kehidupan jutaan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut," kata Airlangga dalam acara Seminar Nasional Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut di Jakarta, Rabu, 10 Januari 2024.
Ia memperkirakan setidaknya terdapat 70 Kawasan Industri, 5 Kawasan Ekonomi Khusus, 28 Kawasan Peruntukan Industri, 5 Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri, dan wilayah perekonomian lainnya yang akan terdampak apabila penanganan permasalahan degradasi di Pantura Jawa tidak segera ditangani dengan baik.
Pada Juli 2024, Airlangga Hartarto kembali menyatakan bahwa pemerintah saat itu sedang menyiapkan studi untuk proyek rencana pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) di pesisir utara Pulau Jawa. "Studi sedang kita siapkan dan ini akan kita lanjutkan," kata Airlangga dalam Tatap Muka – Orasi Ilmiah BJ Habibie Memorial Lecture: Peran Iptek dan Inovasi menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2024.
Airlangga juga menyampaikan bahwa baik pemerintahan Jokowi saat itu maupun pemerintahan periode 2024-2029 yang dipimpin Prabowo Subianto, terus mendorong pembangunan tanggul raksasa tersebut.
"Proyek strategis nasional bapak presiden terpilih (Prabowo Subianto) mendorong bahwa utara (Pulau) Jawa yang setiap tahun ada climate change (perubahan iklim), land subsidence (fenomena penurunan dari permukaan tanah)," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Satgas Perumahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan bahwa pembangunan tanggul laut raksasa itu akan dikerjakan bersama oleh pemerintah dan swasta, termasuk investor asing. Adik kandung sekaligus penasihat Prabowo itu memperkirakan 40 persen lahan sawah akan tenggelam bila proyek ini tak kunjung dibangun.
Menurutnya, pembangunan tanggul laut raksasa telah dirancang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sejak 1994. Sepuluh tahun silam, proyek ini, kata dia, telah siap dimulai.
Namun ia menilai tak ada kemajuan selama sepuluh tahun terakhir. “Kalau tidak salah, sepuluh tahun lalu sudah mantap dan bisa dimulai. Tapi ada apa selama sepuluh tahun tidak ada kemajuan,” kata Hashim di Jakarta, Sabtu, 31 Agustus 2024.
Dikutip dari Antara, adapun pembangunan megaproyek di wilayah Jakarta itu terdiri atas tiga tahapan atau fase pembangunan. Dimulai dari fase pertama dengan pembangunan tanggul pantai dan sungai, serta pembangunan sistem pompa dan polder di wilayah Pesisir Utara Jakarta.
Kemudian fase kedua, pembangunan tanggul laut dengan konsep terbuka (open dike) pada sisi sebelah barat pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum tahun 2030.
Fase ketiga, pembangunan tanggul laut pada sisi sebelah timur pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum tahun 2040. Jika laju penurunan tanah tetap terjadi setelah tahun 2040, maka konsep tanggul laut terbuka akan dimodifikasi menjadi tanggul laut tertutup.
NI MADE SUKMASARI | RADEN PUTRI ALPADILLAH GINANJAR | M RIZKI YUSRIAL DAN YOHANES MAHARSO | ANTARA
Pilihan editor: Prabowo Mau Bikin Giant Sea Wall untuk Apa?