(Beritadaerah-Kolom) Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika kembali mencatatkan rekor terburuk sejak krisis moneter 1998 di Indonesia. Pada awal bulan ini, rupiah menembus angka psikologis Rp17.200 per dolar, posisi yang mencerminkan tekanan signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa; tekanan terhadap rupiah berlangsung di tengah dinamika global yang kompleks, termasuk kebijakan proteksionis dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali menerapkan tarif impor terhadap sejumlah produk, termasuk dari Indonesia.
Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar, pengusaha, dan tentu saja masyarakat umum. Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah: apakah situasi ini menandakan krisis baru seperti 1998, atau hanya turbulensi sementara yang masih dapat dikelola?
Untuk menjawabnya, perlu melihat lebih dalam dinamika nilai tukar, kondisi perekonomian domestik, dampak riil terhadap masyarakat, serta opsi kebijakan pemerintah untuk merespons situasi yang mengancam stabilitas ekonomi ini.
Tekanan Nilai Tukar dan Sentimen Global
Keterpurukan rupiah hingga menyentuh Rp17.200 per dolar bukan hanya cermin dari faktor domestik, tetapi juga mencerminkan sentimen global yang semakin risk-averse. Selama libur Lebaran ketika pasar domestik tutup, rupiah tetap diperdagangkan di offshore market, khususnya Singapura, dan di situlah tekanan besar tampak mencolok. Rupiah menembus batas psikologis Rp17.000 di pasar luar negeri, suatu posisi yang menunjukkan bahwa investor global mulai kehilangan kepercayaan terhadap prospek jangka pendek Indonesia.
Namun, perlu diakui bahwa depresiasi kali ini belum seburuk 1998. Saat itu, rupiah anjlok dari kisaran Rp6.000–Rp7.000 ke Rp16.600 dalam waktu singkat, sebuah guncangan nilai tukar yang dramatis. Tahun ini, rupiah baru terdepresiasi sekitar 400–500 poin dari awal tahun atau sekitar 5 persen. Artinya, secara kuantitatif, tekanan nilai tukar saat ini belum mencapai titik kritis. Namun demikian, kekhawatiran tetap sah adanya, karena pergerakan nilai tukar kerap kali dipicu oleh faktor non-fundamental yang dapat membesar secara cepat melalui persepsi pasar.
Bank Indonesia tidak tinggal diam. Cadangan devisa sebesar 154 miliar dolar AS memberi ruang yang cukup luas bagi otoritas moneter untuk melakukan intervensi. Bahkan, selama libur Lebaran, BI telah turun tangan di pasar offshore untuk meredam spekulasi. Menurut proyeksi, BI memiliki kemampuan untuk melakukan intervensi hingga sekitar 4–5 miliar dolar dalam dua bulan ke depan guna mempertahankan nilai tukar di kisaran Rp16.400. Intervensi ini menjadi sinyal bahwa meski tekanan besar, otoritas moneter masih memiliki alat kebijakan yang kredibel untuk menjaga stabilitas.
Apakah Kita Sedang dalam Krisis?
Penurunan tajam nilai tukar seringkali diasosiasikan dengan krisis ekonomi. Namun, indikator yang lebih luas menunjukkan bahwa situasi Indonesia belum sampai pada titik krisis. Salah satu indikator yang relevan adalah pertumbuhan ekonomi. Tahun lalu, Indonesia masih mampu tumbuh di atas 5 persen, meskipun mengalami sedikit perlambatan dari rata-rata 10 tahun terakhir. Jika dibandingkan dengan tahun 1998, saat ekonomi menyusut hingga -13 persen, maka saat ini Indonesia masih memiliki pijakan yang relatif stabil.
Namun, tekanan terhadap masyarakat tetap nyata. Data menunjukkan bahwa hingga awal tahun ini, sekitar 60.000 orang telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan angka ini diperkirakan bisa meningkat hingga 300.000 orang pada akhir tahun. PHK ini terutama terjadi di sektor industri yang sangat bergantung pada impor bahan baku. Ketika rupiah melemah, biaya impor meningkat, sehingga biaya produksi membengkak dan perusahaan merespons dengan efisiensi yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pengurangan tenaga kerja.
Baca juga : Inflasi Maret 2025 Mencapai 1,65%, Komoditas Penyumbang Utama Tarif Listrik
Yang menarik, peningkatan PHK ini belum secara signifikan menaikkan angka pengangguran terbuka. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan formal berpindah ke sektor informal. Namun, peralihan ini menimbulkan masalah baru: sektor informal umumnya menawarkan pendapatan yang jauh lebih rendah, serta tidak menyediakan perlindungan sosial yang memadai. Akibatnya, daya beli masyarakat—terutama kelas menengah—mengalami penurunan tajam.
Fenomena Mudik yang Sepi
Fenomena ini tergambar jelas dalam perilaku konsumsi masyarakat menjelang Lebaran tahun ini. Jalanan yang lengang dan turunnya jumlah pemudik hingga 24 persen berdasarkan data Kementerian Perhubungan menjadi cermin lemahnya daya beli. Jika di tahun-tahun sebelumnya momentum Lebaran menjadi ajang konsumsi domestik yang mendorong perputaran uang, maka tahun ini justru terjadi penurunan likuiditas hingga Rp20 triliun.
Mandiri Spending Index, yang merekam belanja masyarakat menjelang Lebaran, untuk pertama kalinya tercatat negatif -0,04 persen. Bandingkan dengan tahun sebelumnya yang masih mencatat angka positif 4 persen, atau dua tahun lalu sebesar 5,3 persen. Indeks ini mengonfirmasi bahwa masyarakat kini lebih banyak menahan konsumsi dan memilih untuk menyimpan dana, mencerminkan ketidakpastian ekonomi jangka pendek yang dirasakan langsung di tingkat rumah tangga.
Baca juga : Penurunan Jumlah Pemudik dan Sinyal Bagi Ekonomi Indonesia
Lebih jauh lagi, dalam lima tahun terakhir, tabungan masyarakat mengalami penurunan yang mengkhawatirkan. Sekitar 98,8 persen rekening di perbankan kini memiliki saldo di bawah Rp100 juta, dan bahkan rata-rata saldo menurun dari Rp3 juta menjadi Rp1,8 juta. Ini menjadi indikator bahwa akumulasi aset rumah tangga tidak lagi terjadi, dan mayoritas masyarakat kini hidup dari penghasilan ke pengeluaran tanpa ruang tabungan.
Dampak Tarif Trump dan Eskalasi Biaya Produksi
Dalam situasi yang sudah sulit ini, kebijakan Presiden Donald Trump menambah tekanan baru bagi sektor industri. Kebijakan tarif impor terhadap produk dari Indonesia akan membuat biaya ekspor semakin tinggi. Akibatnya, margin keuntungan eksportir tertekan, sementara produk-produk lokal yang mengandalkan komponen impor juga terkena dampak dari lonjakan biaya bahan baku.
Ini menjadi ancaman ganda bagi sektor industri dalam negeri terkena tekanan dari dua arah, yakni dari sisi biaya impor akibat melemahnya rupiah, dan dari sisi pasar ekspor akibat tarif baru. Maka tak heran jika kekhawatiran akan perlambatan sektor manufaktur makin besar, yang pada gilirannya berpotensi menekan penyerapan tenaga kerja lebih jauh.
Namun di tengah tekanan ini, ada peluang. Beberapa produk Indonesia, meskipun dikenakan tarif, masih lebih kompetitif dibandingkan produk dari negara lain seperti Tiongkok atau Vietnam. Jika pemerintah mampu memanfaatkan celah ini melalui diplomasi dagang, ekspor Indonesia tetap bisa tumbuh. Namun kuncinya adalah pendekatan personal dan bilateral, bukan multilateral.
Strategi Diplomasi dan Tindak Lanjut Kebijakan
Trump sangat terbuka untuk berdiskusi. Dalam banyak kasus, keputusan tarif dapat berubah hanya dengan pendekatan pribadi. Contoh nyata adalah Vietnam, yang mampu memperoleh keringanan tarif hanya melalui satu panggilan telepon dari pejabat tingginya kepada Trump. Indonesia bisa dan seharusnya meniru pendekatan ini.
Presiden Joko Widodo bisa memanfaatkan relasi personal yang sudah terbangun. Dalam pernyataan sebelumnya, Trump bahkan pernah menyatakan “You can call me anytime.” Ini adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan untuk membangun jalur diplomasi langsung yang dapat meredam potensi kerugian akibat kebijakan proteksionis Amerika Serikat.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki data industri mana saja yang paling terdampak. Kementerian Koordinator Perekonomian telah menyelesaikan asesmen awal. Tantangannya kini adalah bagaimana menindaklanjuti data tersebut dalam bentuk diplomasi ekonomi konkret yang bisa membuka ruang negosiasi.
Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Dalam jangka pendek, intervensi fiskal yang dapat langsung dirasakan masyarakat perlu diperkuat. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), jika dijalankan secara ideal, dapat menjadi alat yang efektif untuk mengurangi tekanan pengeluaran rumah tangga, khususnya untuk kelompok kelas menengah ke bawah. Mengingat bahwa 41,7 persen pengeluaran rumah tangga masih didominasi oleh makanan, maka subsidi di sektor ini sangat strategis.
Subsidi listrik juga menjadi instrumen yang patut dipertimbangkan. Kelas menengah saat ini berada di posisi rentan—mereka bukan penerima bantuan sosial, tetapi juga bukan golongan atas. Subsidi listrik 50 persen yang sempat diberlakukan terbukti efektif memberikan ruang fiskal bagi rumah tangga untuk menyesuaikan pengeluarannya.
Namun kedua kebijakan ini bersifat temporer. Untuk membangun fondasi yang lebih kokoh, Indonesia perlu kembali mendorong jalur industrialisasi. Selama ini, deindustrialisasi terjadi secara perlahan tetapi pasti, membuat struktur ekonomi lebih rentan terhadap volatilitas eksternal. Kembalinya PHK besar-besaran menunjukkan bahwa tanpa basis industri yang kuat, ketahanan ekonomi nasional akan terus tergerus.
Maka, revitalisasi sektor manufaktur menjadi kunci. Pemerintah harus berani mengembangkan kebijakan industrialisasi yang terencana, termasuk dukungan pembiayaan, reformasi insentif investasi, hingga perlindungan pasar domestik secara selektif.
Siaga Menuju Awas
Situasi saat ini berada pada level “siaga ke awas.” Belum dalam status darurat, tetapi sudah menunjukkan tanda-tanda tekanan yang mengarah ke ketidakseimbangan struktural. Depresiasi rupiah, lonjakan PHK, penurunan daya beli, serta risiko proteksionisme global adalah sinyal bahwa perekonomian sedang diuji dari berbagai sisi.
Namun dengan cadangan devisa yang cukup, ruang fiskal yang masih tersedia, serta potensi diplomasi bilateral yang belum sepenuhnya dimanfaatkan, Indonesia masih memiliki peluang untuk membalikkan arah. Syaratnya adalah kejelasan strategi, keberanian dalam diplomasi, dan keberpihakan pada sektor yang benar-benar menjadi tulang punggung perekonomian rakyat.
Krisis 1998 mengajarkan bahwa kebijakan reaktif tidak cukup. Diperlukan visi jangka panjang, intervensi yang terarah, serta keberanian untuk merumuskan kembali arah pembangunan. Indonesia memiliki pengalaman itu. Yang kini dibutuhkan adalah keberanian untuk bertindak, sebelum “waspada” berubah menjadi “darurat”.