TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia berencana membangun 100 gigawatt pembangkit listrik yang komposisinya 75 persen dari energi terbarukan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan rencana itu belum sepenuhnya selaras dengan target Perjanjian Paris untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celcius, yang mengharuskan transisi energi terbarukan yang lebih agresif.
Menurut Fabby, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai dengan strategi mengurangi bertahap (phase-down) dan penghapusan bertahap (phase-out) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara paling lambat 2045, agar selaras dengan target pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat celcius.
Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang lebih serius dan aksi yang nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris. “Walaupun rencana besar sering kali diumumkan, IESR mencatat bahwa implementasinya masih jauh dari target yang dicanangkan. Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 14 November 2024.
Fabby mengatakan kombinasi langkah tersebut akan berdampak secara signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2050. Ia mendesak pemerintah supaya tidak hanya menyampaikan target besar di forum international, namun juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan. “Selama ini, implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh panggang dari api,” ucapnya.
Rencana pembangunan 100 gigawatt ini membutuhkan investasi US$ 235 miliar atau Rp 3.710 triliun. IESR menyambut baik rencana tersebut ketika Ketua Delegasi Indonesia, Hashim Djojohadikusumo, menyampaikannya dalam Conference of the Parties 29 (COP29) di Baku, Azerbaijan, pada 11 November 2024.
Namun Fabby mengingatkan, di perhelatan COP28, Indonesia telah menyepakati keputusan COP untuk mencapai target pembatasan laju kenaikan temperatur dengan meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat (triple up) dan menggandakan upaya efisiensi energi (double down) pada tahun 2030. IESR menilai Perjanjian Paris itu seharusnya dituangkan dalam target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
IESR juga mendorong pemerintah agar fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya paling murah dengan pasokan yang optimal serta teknologi yang handal. Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan, pemerintah juga perlu siap mengembangkan energi nuklir dari sisi institusi, keandalan teknologi, biaya investasi, serta risikonya.
Penggunaan tenaga nuklir ini juga disampaikan oleh Hashim ketika acara pembukaan di Paviliun Indonesia tiga hari lalu di Azerbaijan. Energi tersebut yang digadang-gadang menjadi salah satu energi terbarukan.
Deon menuturkan, berdasarkan perhitungan IESR, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 dengan mengandalkan energi surya dan angin. “Kapasitas tersebut dapat membawa bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan mencapai nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045,” tuturnya.
IESR meminta pemerintah menyusun strategi energi yang lebih komprehensif. Tidak sekedar menyampaikan target besar, tapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan.
Dari sisi pendanaan, investari US$ 235 miliar harus dikelola dengan baik untuk percepatan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. IESR mendorong sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek energi terbarukan yang jelas dan punya dampak nyata mengurangi emisi karbon di Indonesia.