Plt Kepala Rutan Saling Tuding dengan Eks Kamtib Soal Otak di Balik Pungli Tahanan KPK

3 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (Rutan KPK) periode 2018, Deden Rochendi saling tuding dengan mantan Kepala Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Rutan, Hengki.

Mulanya persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa itu dimulai dengan memeriksa keterangan Deden. Jaksa bertanya soal pertemuan Deden dan Hengki di Gedung KPK lantai 3.

"Apakah saudara ada pertemuan dengan saudara Hengki di kolam ikan lantai 3 Gedung KPK?" tanya Jaksa. Deden menampik pertemuan itu. 

"Karenakan saudara Hengki mengaku pertemuan itu dengan anda," kata Jaksa. 

"Tidak pak, serius tidak. Justru pertemuan itu terjadi di area rutan," jawab Deden. 

Kemudian Jaksa bertanya apakah dalam pertemuan itu Hengki berbicara soal meneruskan tradisi lama. Deden mengaku tidak ada kata-kata soal tradisi lama. 

"Yang dibicarakan saat itu adalah barang yang dikosongkan dalam Rutan. Barang-barang di dalam Rutan yang tanpa izin Hengki harus disita," ucap Deden. Kemudian, tanpa ditanya Jaksa, Deden mengungkap pertemuannya dengan Hengki usai perkara pungli ini terendus penegak hukum. 

"Saya diajak oleh Pak Hengki ketemu di kantornya yang sekarang, di Pemprov," ucapnya. 

Jaksa kemudian bertanya inti dari pembicaraan itu. 

"Dia meminta tolong, 'sampaikan kepada teman-teman, tolong jangan bawa-bawa nama saya karena saya sudah pindah'dia bilang," jawab Deden.

"Saya bilang enggak, kamu aja sendiri. Kamu aja takut, apalagi saya," kata dia lagi. 

Sementara itu, dalam pemeriksaan mantan kamtib, Hengki, ia memberikan pernyataan bahwa Deden lah yang lebih berperan dalam pungli ini.  

"Pada tahun 2018, saat saya masuk sini. Pak Suryadi sudah bilang, di sini ada main-main," ucap Hengki.

"Siapa pemainnya," tanya Jaksa. Hengki pun menyebut nama Deden Fachrudi. 

Seiring berjalan waktu, kata Hengki, pada akhir tahun 2018, ia dipanggil oleh plt Deden karena di awal-awal menjabat, Hengki sering melakukan sidak.

"Kalau soal melanjutkan tradisi tidak ada. Tapi waktu itu Pak Deden bilang 'Lek, kamu dari Kemenkumham, lu jangan galak-galak di sini. Karena gue punya kebutuhan'. lalu Pak Deden ngasih jajan ke saya sebesar 3 juta," tutur Hengki saat ditanya jaksa soal obrolan dalam pertemuan itu.

Ia menegaskan bahwa pertama kali ikut bergabung melakukan pungli diajak oleh Deden. "Saya disebut yang menginisiasi pertemuan, padahal yang tahu nama cafenya beliau,  yang tahu arah jalannya beliau," ucap dia. 

Lebih lanjut, Hengki juga membantah saat ditanya jaksa soal pertemuan di kantornya. "Nah justru beliau yang mengatakan, 'Lek, semenjak perkara ini, gue nungguin lu, berharap bisa ketemu lu, tapi gak ketemu'" kata Hengki.

"Sekarang beliau bicara berbeda, seolah-olah saya yang minta dia datang," ucapnya. 

"Saya sudah lama meninggalkan KPK. Loh kok kasus ini pecah tiba-tiba seolah-olah saya yang ini. Deden yang pelintir, dia yang bilang 'gue di deket masjid berharap ketemu lu'" ujar Hengki dengan nada suara naik tampak marah. 

Sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.  Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.

Praktik pungli itu dilakukan dengan tujuan memperkaya 15 orang tersebut, yakni memperkaya Deden senilai Rp 399,5 juta, Hengki Rp 692,8 juta, Ristanta Rp 137 juta, Eri Angga Rp 100,3 juta, Sopian Rp 322 juta, Fauzi Rp 19 juta, Agung Rp 91 juta, serta Ari Rp 29 juta.

Selanjutnya, memperkaya Ridwan sebesar Rp 160,5 juta, Mahdi Rp 96,6 juta, Suharlan Rp 103,7 juta, Ricky Rp 116,95 juta, Wardoyo Rp 72,6 juta, Abduh Rp 94,5 juta, serta Ubaidillah Rp 135,5 juta.

Perbuatan para terdakwa dianggap sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |